Aku masih berbaring di atas tempat tidur dengan mata terpejam sambil menghayati lagu-lagu yang terputar. Sampai deru mesin mobil yang berhenti di depan rumah sebelah rumah kami, mengalihkan perhatianku.
Aku bangkit, berjalan ke jendela lalu menyibakkan tirainya sedikit. Tetanggaku yang pulang ke kampung halamannya sepekan lalu, kini telah kembali ke rumah. Sang ibu sempat berpamitan pada kami, juga meminta tolong untuk mengawasi rumahnya selama mereka pergi.
Mereka sekeluarga turun dari mobil dengan senyuman lebar dan tawa membahana. Kedua orang tua, juga dua putri kembar mereka, bergotong royong membawa masuk beberapa koper ke dalam rumah.
Mereka terlihat bahagia tanpa beban, juga tanpa kebingungan sama sekali. Mungkin belum tahu apa yang terjadi di kota. Sepertinya mereka tak melintasi jalanan di pusat kota Loston.
Malam harinya, setelah selesai mengisi perut, aku membantu Ibu membereskan piring-piring kotor. Membawanya ke tempat pencucian piring yang berada tak jauh dari meja makan.
"Bu, apa aku bisa pergi ke sekolah besok?" tanyaku.
"Lebih baik libur saja dulu, Nak. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok," jawab Ibu. Padahal kekacauannya sudah berakhir, tapi rasa ketakutannya masih saja menghantui.
"Bu, aku akan baik-baik saja. Aku berjanji akan berhati-hati saat berada di luar rumah," ujarku membujuk Ibu.
Dia tak menjawab, masih sibuk mengaduk sisa lauk-pauk yang sedang dipanaskan agar tidak basi.
"Bu ...," ucapku dengan nada memelas.
Tangan Ibu terhenti, lalu dia membuang napas kasar seraya menoleh padaku, menatapku dengan lirikan matanya yang tajam.
"Baiklah. Tapi berjanji pada Ibu, kau tidak akan berkeliaran di luar sekolah!"
Aku tersenyum kikuk sambil menggaruk kepala yang tak gatal. Sepertinya Ibu tahu kebiasaanku yang satu itu.
"Aku berjanji tidak akan berkeliaran di luar sekolah, Bu." Akhirnya aku berikrar.
"Baiklah. Kau boleh ke sekolah besok," ucapnya.
Mendengar hal itu, aku langsung menghambur ke pelukan Ibu seraya mencium pipinya. "Terima kasih, Bu."
Keesokan paginya, aku menaiki bus sekolah seperti biasa. Tapi kali ini, suasananya jauh berbeda. Tidak ada suara tawa atau obrolan riang seperti biasanya. Sebagian besar siswa hanya duduk diam, beberapa berbisik-bisik dengan nada serius.
"Kau lihat berita tadi pagi?" tanya Otis pelan.
Aku mengangguk. "Ya."
"Mereka bilang situasinya sudah terkendali. Tapi, entah kenapa rasanya masih belum tenang," ujar Otis.
Aku mengembus napas panjang. "Seandainya orang-orang tak memandang warna kulit, pasti kekacauan seperti semalam tidak akan pernah terjadi."
"Kau benar, Ian. Entah kapan kedamaian akan datang ke kota ini," sahut Otis.
"Jika kita tak memulainya dari sekarang, maka semua itu hanya akan menjadi mimpi belaka," balasku.
Di sudut bus, Jeffrey dan teman-temannya duduk tanpa berbicara. Aku bisa merasakan tatapan beberapa siswa lain yang mengarah ke mereka, seolah-olah mereka bagian dari kekacauan yang terjadi semalam.