City Of Evil : The Lost Justice

Tiara A Putri
Chapter #6

Chapter 6 | Words and Wounds

Aku mengeluarkan sejumlah uang yang cukup banyak dari saku celana dan menunjukkannya pada Otis. "Beberapa hari belakangan ini aku menyisihkan sebagian uang sakuku. Aku ingin membeli camilan yang banyak untuk dibagikan pada anak-anak itu," ujarku.

"Wah, banyak sekali!" seru Otis. Dia pun ikut mengeluarkan uang sakunya. "Ini untuk tambahan," imbuhnya.

Aku bisa mengetahui berapa jumlah uangnya hanya dengan sekali lihat saja. Tidak banyak, karena itu memang uang sakunya untuk sehari. Jadi, mana mungkin aku tega mengambilnya.

"Sudah, pakai uangku saja. Ini masih cukup untuk berbagi. Kau simpan saja milikmu," ujarku.

"Baiklah. Lain kali aku juga akan menyisihkan sebagian uang sakuku," balas Otis.


Setibanya di kantin, kami memilih berbagai camilan—makanan ringan, permen, minuman kemasan, hingga roti. Setelah itu, kami menyerahkannya kepada penjaga kantin untuk dihitung.

"Untuk apa kalian membeli camilan sebanyak ini?" tanya wanita penjaga kantin tersebut. Kami biasa memanggilnya "Bibi Lanny".

"Kami ingin membagikannya kepada teman-teman di kelas," jawabku tanpa menyebutkan secara spesifik siapa yang dimaksud.

Bibi Lanny memasukkan semua camilan kami ke dalam kantong plastik yang cukup besar. Lalu, aku memberikan sejumlah uang—sesuai dengan harga semua camilan itu.

"Terima kasih, Bi," ucapku dan Otis.

Setelahnya, kami kembali ke kelas dengan perasaan yang dipenuhi kebahagiaan. Sesampainya di sana, kami berdiri di ambang pintu. Dari jauh kulihat sekelompok siswa berkulit hitam itu sedang berkumpul, menikmati biskuit asin yang diambil dari kotak bekal salah satu dari mereka. Mereka tampak berbagi camilan sederhana itu dengan penuh sukacita, tawa dan senyum menghiasi wajah mereka. Hanya ada mereka di dalam kelas, sementara yang lain mungkin tengah asyik bermain di luar.

Aku dan Otis saling melempar pandang, mencoba meyakinkan satu sama lain. Dengan sedikit ragu, kami memberanikan diri mendekati mereka. Ironis rasanya—kami yang justru merasa takut pada mereka, padahal seharusnya merekalah yang takut pada kami karena tindakan diskriminasi rasial yang dilakukan oleh orang-orang kami terhadap mereka.

Rahang mereka berhenti mengunyah saat melihat kedatangan kami. Ruang kelas yang tadinya dipenuhi tawa mereka, kini mendadak hening. Tak ingin membuat anak-anak itu berpikiran negatif, aku langsung membuka kantong plastik di tanganku lebar-lebar.

"Ambillah!" kataku sambil tersenyum.

Mereka tertegun, lalu memandang bingung ke arahku.

"Jangan khawatir, kami hanya ingin berteman dengan kalian," timpal Otis.

Lihat selengkapnya