Tiga bulan telah berlalu, selama itu pula aku dan Otis selalu bermain dengan Jeffrey dan teman-temannya. Ya, sebenarnya mereka semua juga sudah menjadi temanku.
Kami tak merasa canggung lagi dengan mereka. Jika ada waktu luang, aku dan Otis menyempatkan diri mengunjungi rumah Jeffrey, juga teman kami yang tinggal di Perbatasan.
Setiap hari Minggu kami juga bersepeda bersama. Aku dan Otis memiliki sepeda lama yang sudah tak terpakai. Kami memberikannya pada Jeffrey dan yang lain sebab tak ada satu pun dari mereka yang punya sepeda. Karena hanya ada empat sepeda, maka kami selalu berboncengan.
Awalnya, setiap melintasi pusat kota, orang-orang selalu menatap heran pada kami. Tak jarang ada yang menegur, memperingatkan untuk menjauhi Jeffrey dan yang lain.
"Hei, Nak! Kalian seharusnya tahu dengan siapa kalian bergaul. Mereka itu bukan orang yang patut diajak berteman, itu berbahaya!" seru seorang sopir taksi yang dengan sengaja memberhentikan mobilnya hanya untuk mengatakan hal itu.
"Tentu saja kami tahu. Kami hanya bermain. Tidak mengganggu ataupun melukai orang lain. Bahkan kami juga tidak saling menyakiti, jadi apa salahnya?" balasku.
Tampaknya dia tak senang, pria itu langsung tancap gas tanpa membalas ucapanku. Aku jadi membayangkan, bagaimana jika dia mendapat penumpang—seorang warga minoritas? Mungkin dia akan menolaknya. Lebih baik mati kelaparan daripada harus semobil dengan orang yang dibenci.
Hari ini, kami membawa ratusan lembar stiker berukuran 15Ă—20 cm, dengan berbagai tulisan sarkas yang kami buat sendiri.
Kami akan menyebarkannya di semua tempat di kota kecil ini. Aku dan Otis bertugas sebagai yang melekatkannya di tembok-tembok. Sementara Jeffrey dan yang lain memegangi dan memberikan selembar demi selembar padaku dan Otis.
"Ian, apa ini legal?" tanya Jeffrey dengan nada khawatir.
"Tentu saja ini ... ilegal," jawabku enteng.
Wajah Jeffrey semakin memucat, aku tahu dia takut, tapi aku yang akan bertanggung jawab untuk hal ini. Ya, aku tahu ini melanggar, memasang stiker di tembok-tembok toko orang lain tanpa izin. Tapi, jika meminta izin, siapa yang akan mengizinkan?
Kami memilih melakukannya pagi-pagi sekali, saat belum banyak orang beraktivitas di luar rumah. Dua jam kemudian, kami selesai. Aku berjalan mundur sambil memandangi stiker-stiker itu.
"Akan ada dua respons yang akan hadir setelah mereka membaca stiker-stiker kita. Pikiran terbuka, atau mulut yang terbuka," ujar Otis sambil tertawa keras.
"Ya, kau benar," sahutku.
Sekarang, tembok-tembok kota dipenuhi dengan kata-kata sarkastik kami, membanjiri setiap sudutnya dengan sindiran.
'Jika warna kulit menentukan derajat seseorang, apakah itu berarti jerawat membuatmu masuk kasta terendah?'
'Selamat! Kau berhasil membenci seseorang hanya berdasarkan warna kulitnya. Sayang sekali, kecerdasan tidak menular seperti kebencian.'
'Kalau otak sekecil itu bisa menghasilkan kebencian sebesar ini, bayangkan jika kau benar-benar berpikir.'
'Jika kau harus merendahkan orang lain berdasarkan ras, itu berarti kau tidak punya hal lain yang bisa dibanggakan.'
'Rasisme adalah ketika kau kehabisan alasan untuk merasa istimewa, jadi kau memilih warna kulit sebagai pelampiasan.'
'Menilai seseorang berdasarkan rasnya adalah bukti bahwa evolusi memang tidak bekerja dengan baik pada semua orang.'
'Menyebut ras tertentu lebih unggul itu seperti mengklaim bahwa satu warna di pelangi lebih penting dari yang lain.'
'Hebat sekali! Kau membenci seseorang hanya karena warna kulitnya. Pasti butuh usaha keras untuk menjadi sekonyol itu.'
'Selamat! Kau memenangkan lotre lahir di ras yang kau anggap superior. Sayangnya, itu bukan prestasi, hanya sebuah keberuntungan buta.'
Ya ... begitulah kira-kira. Jika kata-kata manis tak lagi berfungsi, mungkin mereka butuh yang langsung menusuk ke hati.
Selama beberapa hari, stiker-stiker kami menjadi pusat perhatian warga kota. Saat pergi ke sekolah, aku sering mendapati beberapa orang memandangi tembok demi membaca tulisan-tulisan itu.
Kadang kala beberapa pria dewasa menarik dan merobeknya dengan wajah kesal. Ada juga lansia yang mengambilnya untuk dibaca dari dekat, mungkin penglihatan mereka sudah tak berfungsi dengan baik.
Saat aku, Otis, Jeffrey, dan yang lain sedang berkumpul sambil membaca buku pelajaran di dalam kelas, Nathan dan teman-temannya menghampiri kami. Dia melipat kedua tangan di depan dada, mengangkat sedikit dagunya dan menatap tajam pada kami.
"Apa kalian yang mengotori tembok-tembok di kota dengan kata-kata sampah seperti itu?" tanyanya.