Semua orang saling berbisik dengan rekan sebelahnya. Beberapa ada yang setuju dengan perkataan wanita tua itu, dan yang lain menolak. Aku jadi bertanya-tanya, berapa usianya? Sepertinya dia telah melalui banyak hal di sini, mungkinkah dia warga asli kota Loston?
"Nyonya, Anda ini sudah tua, sebaiknya duduk diam di rumah dan nikmati sisa hidupmu!" ujar seorang pria berjas hitam, dia adalah salah satu yang tak setuju dengan ucapan wanita tua itu. Kalau kata si wanita "kemanusiannya patut diragukan".
"Tapi, yang Nyonya ini katakan benar. Kita tidak berhak menentukan siapa lebih tinggi. Mereka juga manusia, dan berhak diperlakukan dengan baik," sela seorang wanita yang tengah menggendong bayinya.
"Ya, aku juga berpikir begitu. Kenapa kita harus menjauhi mereka? Menempatkan mereka di wilayah yang kita sendiri tak ingin mendudukinya? Aku belajar di kampus, begitu juga dengan mereka. Tapi, kenapa hasilnya berbeda? Kami bergelut dalam jurusan yang sama, bahkan kurasa banyak dari mereka yang lebih unggul dariku. Namun, saat melamar pekerjaan, kenapa aku diterima, dan mereka tidak?" timpal seorang gadis—mencurahkan isi hatinya.
Aku kagum sekali dengan orang-orang itu. Jawaban mereka sangat bermutu, tak hanya sebatas menyuruh seseorang berdiam diri di rumah mereka. Kurasa duniaku terlalu kecil, bisa-bisanya aku tidak mengenal orang-orang yang sepemikiran denganku ini.
"Anak-anakku," kata wanita tua itu lembut, "jangan sibuk mencari perbedaan hingga menumbuhkan kebencian. Carilah kesamaan yang dapat mempersatukan kita sebagai manusia yang memiliki rasa."
Sekali lagi aku terharu. Kata-katanya terdengar begitu tulus, aku mengulas senyum, sudut mataku mengeluarkan setetes cairan bening, buru-buru aku mengusapnya, malu jika ketahuan teman-temanku kalau aku menangis.
"Sebaiknya kita harus mulai berbenah diri. Kalau tidak sekarang, kapan lagi?" ujar seorang pria paruh baya.
Anggap saja golongan A adalah mereka yang ingin menegakkan keadilan bagi warga minoritas, sementara golongan B, sebaliknya. Nah, di kerumunan ini, aku tidak bisa memastikan mana yang lebih dominan, golongan A, atau yang B. Karena kebanyakan dari mereka hanya diam dan menyimak, cuma sebagian kecil saja yang berani bersuara. Hanya satu hal yang bisa kupastikan: aku tidak sendirian.
Di sini kami tidak akan menemukan kesepakatan bersama, ataupun satu jalan keluar. Semua akan melakukan yang ingin dilakukan, dan berbuat yang harus diperbuat.
Setelah obrolan—mungkin perdebatan—berakhir, semua orang membubarkan diri. Hanya tersisa aku dan teman-teman, juga si wanita tua yang kembali membaca tulisan-tulisan sarkas kami.
"Nyonya, maaf jika ini tidak sopan. Berapa usia Anda?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.
"Seratus dua tahun," jawabnya tanpa menoleh ke arahku.
Kami kaget bukan main. Ternyata dia seorang centenarian (orang yang berusia seratus tahun ke atas).
"Wah, pasti sudah banyak hal-hal yang Anda lalui, ya?" tanya Otis.
"Tentu. Sudah banyak yang kulalui, tapi tidak ada yang berubah, kota ini tetap sama sejak puluhan tahun yang lalu," jawabnya.
"Itu artinya dalam keluarga Anda setidaknya ada tiga sampai empat generasi sekarang, ya?" tebakku.
Dia tersenyum hingga menciptakan kerutan di sudut matanya. "Aku tidak menikah."
"Benarkah?" Otis langsung menyambut jawaban wanita itu dengan ekspresi terkejut.
"Ya."
Lalu, dia seakan membawa kami ke masa lalu. Katanya, tujuh puluh tujuh tahun silam, seorang pria kulit hitam memikat hatinya.
"Dia pria sederhana, petani jagung berusia tiga puluh dua tahun. Tutur katanya lembut, begitu pula suaranya. Tak pernah sekali pun dia bersikap kasar padaku. Setiap Minggu, dia mengirimiku tepung jagung dari kebunnya, dan aku mengembalikannya dalam bentuk kue."
"Kalau kalian saling mencintai, kenapa tidak menikah?" tanya Marlin, penasaran.
"Kami berencana untuk menikah, tapi kedua orang tuaku tak setuju. Demi memisahkan kami, mereka membuat syarat yang berat untuknya jika ingin menikahiku: harus membangun rumah mewah dalam kurun waktu tiga tahun, juga punya tabungan yang banyak," jelas wanita itu.
"Jadi, dia tidak berhasil?" tanya Otis, walau sebenarnya sudah tahu pasti apa jawaban yang akan didapat.
"Kami sama-sama tahu bahwa itu mustahil, tapi dia tetap mengusahakannya. Dengan ketidakadilan yang ada, mana mungkin seorang pria kulit hitam bisa menjadi pengusaha sukses. Dia selalu menjual hasil panennya di kota, dan harga yang dia dapat sangat jauh dari kata layak. Setahuku, sepertiga dari harga yang diberikan pada ras kulit putih. Yah, cukup untuk makan sehari-hari dan membayar upah pekerja."
"Lalu, setelah kalian gagal menikah, apa yang terjadi?" tanyaku penasaran. Rasanya kisah cinta ini sangat seru untuk didengarkan, ya ... walaupun tak berakhir bahagia.
"Ayah dan Ibu menjodohkanku dengan putra teman mereka. Kami bertunangan setahun lamanya. Tapi, tak sempat menikah."
Wanita itu menjeda ceritanya, dia mengambil sapu tangan kusam dari dalam saku rok, lalu menyeka air mata yang jatuh membasahi pipi.
"Saat itu dia berusia tiga puluh, aku lebih muda dua tahun darinya. Dia adalah pria temperamental, sering meminum alkohol bersama teman-temannya, dan membuat onar pada siapa saja. Pernah sekali dia memukul wajahku hingga pipiku bengkak. Karena hal itulah aku memutuskan untuk tak jadi menikahinya."
"Lalu, bagaimana nasib pria pertama?" tanya Otis.
"Sama halnya denganku, dia juga tidak menikah. Kami menghabiskan waktu dengan kesendirian, kesepian di dalam jiwa. Dia wafat di usia enam puluhan, sudah lama sekali."
Kami semua diam merenung. Sama sekali tak kusangka jika kisah cinta semacam ini pernah terjadi di sini. Beberapa pasangan memang sering mendapat ujian berat tentang Perbedaan. Baik dari keyakinan, maupun hal kecil seperti warna kulit.
Kita ingin mencari pasangan seperti yang kita inginkan. Tapi di samping itu, terkadang orang tua juga yang menentukan pilihan akhirnya.
Dengan tutupnya usia si pria, tampaknya kisah ini pun berakhir. "Nyonya, terima kasih atas waktu Anda. Kami senang mendengar cerita ini. Semoga di kehidupan berikutnya, kalian akan bersatu seperti yang diharapkan. Juga, terima kasih atas dukungan Anda. Sepertinya orang-orang akan lebih berani untuk melawan ketidakadilan ke depannya."
"Sama-sama, Nak. Masa depan kota ini ada di tangan kalian. Jangan pernah berhenti berjuang," balasnya.