Kami menempuh perjalanan selama dua puluh menit. Aku dibawa ke sebuah gedung tinggi, gedung stasiun televisi. Mau apa mereka membawaku ke sini?
"Keluar!" titah si wanita.
Tanpa bertanya, aku langsung menuruti perintahnya. Kami masuk ke gedung tersebut. Kulihat para pekerja di sana menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan.
"Kenapa kalian membawaku ke sini?" Rasa penasaran akhirnya membuatku bertanya.
"Kau akan tampil di siaran televisi," jawab si wanita dengan nada datar.
"Kenapa?"
"Kau harus mengucapkan permintaan maaf ke seluruh warga kota atas perbuatanmu itu. Katakan jika kau menyesalinya dan tak akan mengulangi lagi!" ujarnya memberi arahan, "siarannya akan tayang siang nanti, saat orang-orang beristirahat dari pekerjaan mereka masing-masing," imbuhnya.
"Haruskah begini?" tanyaku.
"Ya, kau harus menerima konsekuensi dari perbuatanmu. Jangan hanya bersembunyi di dalam rumah dan di balik kedua orang tuamu."
Detak jantungku semakin memburu, telapak tanganku mengeluarkan keringat dingin. Aku belum pernah tampil di televisi sebelumnya, dan kini harus kulakukan dengan cara yang memalukan.
Mereka memberiku secarik kertas berisi tulisan yang harus kuucapkan nanti. Ternyata aku tidak diminta untuk mengutarakan isi hati sendiri, melainkan disuruh menghafal dialog layaknya script film.
Kata orang, "Kesempatan tidak datang dua kali." Tapi itu tidak berlaku di sini, aku diberi sepuluh kesempatan untuk berbicara di depan kamera jika ucapanku tak sesuai dengan yang ada di naskah. Kalau sampai yang kesepuluh masih belum benar, mereka mengancamku dengan hukuman yang lebih berat lagi.
Ini bukan siaran langsung, maka tak masalah jika aku membuat kesalahan di awal-awal. Mereka juga tak akan mempertaruhkan reputasi perusahaan mereka dengan meminta bocah bodoh sepertiku melakukan siaran langsung.
"Selamat siang kepada seluruh warga kota. Saya, Sebastian Ludwig, berdiri di sini untuk menyampaikan permintaan maaf atas tindakan saya yang tidak pantas. Saya menyadari bahwa apa yang saya lakukan telah menyebabkan keresahan dan kesalahpahaman di tengah masyarakat.
Saya menyesal telah menuliskan kata-kata yang menyinggung banyak pihak. Saya seharusnya lebih bijaksana dalam menyampaikan pendapat dan tidak bertindak tanpa mempertimbangkan dampaknya terhadap orang lain.
Saya berjanji untuk tidak mengulangi kesalahan ini dan akan berusaha menjadi pribadi yang lebih baik. Saya berharap permintaan maaf ini dapat diterima, dan kita semua dapat kembali hidup dalam harmoni sebagai sesama warga kota. Terima kasih."
Selesai! Aku berhasil dalam kesempatan ketujuh. Ya, banyak orang bilang bahwa angka tujuh adalah angka keberuntungan. Mungkin itu berlaku untuk saat ini. Tapi, apakah aku akan diberi penghargaan untuk keberhasilanku ini? Sepertinya, tidak.
Setelah semuanya selesai, mereka memulangkanku dengan taksi. Sebelum aku pergi, si wanita berkata, "Nyalakan televisimu pukul dua belas siang nanti!"
Aku tidak menolak, tidak pula mengiyakan. Langsung masuk ke dalam taksi dan meminta sopirnya tancap gas.
Sepanjang jalan kepalaku terasa penuh. Banyak suara saling bersahutan seperti menyoraki kebodohan-kebodohan yang telah kulakukan. Sayangnya aku tak membawa ponsel, biasanya aku akan memutar lagu keras jika dalam situasi seperti ini. Harus ada yang lebih berisik dari isi kepala.
Ketika melihatku tiba di rumah, Ibu langsung menghambur memelukku. Dia meneliti tubuhku, memastikan jika anaknya ini tak terluka sedikit pun.
"Nak, kau baik-baik saja? Apa yang mereka lakukan padamu?" tanyanya mendesak.
"Mereka memintaku mengucapkan permohonan maaf, Bu, di siaran televisi. Jika Ibu ingin menontonnya, tunggu sampai pukul dua belas," jawabku.
Setelahnya, aku langsung masuk ke kamar, kembali mengurung diri. Setelah ini, semua orang di kota akan mengenal siapa aku. Mungkin akan menjadikan wajahku sebagai bahan candaan di media sosial.
Pukul lima sore, terdengar suara Otis memanggilku dari luar kamar. Tangannya juga mengetuk pintu dengan keras. "Ian! Ini aku!"
"Aku sedang ingin sendiri!" balasku sedikit berteriak.
"Aku tahu masalahmu. Jangan ambil hati perkataan ayah Jeffrey semalam. Kita sama-sama tahu kalau kita tak seperti yang dia bilang!"
Aku tak membalas ucapannya. Kuharap dia menyerah dan langsung pergi. Namun, tidak sama sekali. Anak itu terus berceloteh tanpa henti.
"Ibuku bilang kau masuk tv, apa itu benar?" tanyanya. Ah, dia malah membahas itu.
"Sudahlah, Otis. Pulang saja!"