Sabtu, 15 Desember, pukul 13.00
Kuletakkan tangan di pangkuan. Sarung tanganku baru, dusty pink dengan pita kecil. Warna yang tidak aku suka tapi bahannya lembut dan nyaman. Khusus dipesan Tante Fang dari butik. Tidak murah. Namun benda ini mampu meredam serbuan kenangan tidak diinginkan.
“Clair?” panggil Tante Fang dengan nada menanyakan kesiapanku.
Aku mendongak. Memberinya pandangan aku-sudah-siap- bahkan-sejak-kemarin.
Tante Fang menyeringai. Sebagai Inspektur Polisi Satu Marie Faradila, ia bersikap resmi sekarang. Ditepuknya map di meja, meminta perhatian ketiga orang yang duduk di seberangnya.
“Baiklah, surat kesepakatan sudah ditandatangani. Segala sesuatu yang dibicarakan dan terjadi di sini, tidak keluar dari ruangan ini. Advokat Sylvana, Anda menjamin perjanjian ini dipatuhi Bapak dan Ibu Alamsyah sebagai klien Anda.” Ia menatap tajam perempuan dengan penampilan profesional. “Sekarang, kita mulai.”
Tante Fang tidak pernah berhenti membuatku kagum.
Wanita berusia 29 tahun yang cantik, sigap, tegas, dan dapat mengendalikan situasi secara profesional. Tidak lupa ia memamerkan senyum khas dengan taring kanan atas yang lebih panjang dari normal. Dari situlah nama ‘Fang’ dipopulerkan, menggantikan ‘Fara’. Walau mereka yang benar-benar dekat saja yang berani memanggilnya demikian.
“Enggak usah terlalu formal, Fara, kita kan teman lama.” Lelaki bernama Alamsyah tertawa gugup. Istrinya tersipu. Sementara Advokat Sylvana mengangguk-angguk dengan dagu terangkat. Luar biasa profesi pengacara itu, sepertinya harus mampu melakukan dua hal bertentangan secara serempak.
“Justru karena kita teman lama,” sahut Tante Fang datar, “aku tidak tahu bagaimana kalian sejak lulus SMA hingga minggu lalu kita bertemu lagi. Kalian hanya beruntung, Clair mau membantu.”
Clair adalah nama kodeku, dan situasi seperti ini bukan yang pertama. Tugasku adalah mencari petunjuk, jejak, dan bukti tak kasatmata dalam kasus-kasus buntu. Aku bekerja secara rahasia karena bakatku sulit diterima nalar. Sebagian orang malah menganggapnya fiksi ilmiah atau bahkan supranatural.
Aku seorang clairtangent, dapat melihat peristiwa di masa lalu lewat sentuhan pada objek yang terlibat di dalamnya. Istilah lainnya, psikometris.
Prosesnya begini: Setiap objek—hidup atau mati—menyimpan ‘memori’ tentang kejadian yang ‘dialaminya’. Getaran memori itu bisa sangat kuat kalau keterlibatannya juga kuat. Tangan kananku mampu menangkap getaran itu, lalu mengirimnya ke otak. Mata batinku pun terbuka dan melihat penampakan kejadian yang dialami si objek.
Freak? Begitulah. Indigo dengan indra keenam? Bisa dibilang begitu. Tapi kemampuanku tidak berkaitan dengan dunia mistis dan makhluk-makhluk gaib. Begitu kata orang-orang pintar. Mereka sepakat, clairtangency-ku muncul dari kelainan otak, dari bagian yang belum terpetakan ilmu pengetahuan.
“Clair, silakan.” Tante Fang memanggil seolah ‘Clair’ benar- benar namaku. Sembunyikan identitas asli, bicara seperlunya, tutupi muka, duduklah di ujung meja untuk menjaga jarak. Itu prosedur pengamanan dari Tante Fang setiap kali aku menangani kasus.
Aku menyentuh masker di muka, masih rapi. Bersama tudung hoodie yang menutup kepala, aku terlindung sempurna. Tidak ada kontak mata dengan ketiga orang itu. Tapi bisa kurasakan kecemasan mereka saat aku mulai berfokus pada benda-benda di atas meja. Telepon genggam, surat di dalam amplop tertutup, cincin emas perempuan, dan sapu tangan dengan cap bibir.
Ponsel itu milik Pak Alamsyah. Pernah mengirimkan beberapa pesan cinta untuk seseorang tanpa nama. Terbaca oleh sang istri yang kemudian menuduhnya selingkuh. Pak Alam membantah. Katanya, ponsel itu pernah tertinggal di ruang rapat, mungkin telah digunakan orang yang tidak bertanggung jawab.
Nomor si anonim tidak bisa dihubungi.
Surat dalam amplop tertutup itu berisi kesaksian tentang perselingkuhan Pak Alam. Ditujukan kepada Bu Alam dari kakaknya. Sayangnya, tidak mungkin dikonfirmasi karena sang penulis surat telah meninggal dunia sebulan lalu.
Cincin dan sapu tangan itu ditemukan di tas kerja Pak Alam. Lelaki itu mengaku tidak tahu bagaimana benda-benda itu bisa ada di dalamnya.
Benarkah ini kasus perselingkuhan atau hanya fitnah keji untuk menghancurkan rumah tangga mereka? Apa pun itu, kedengaran kayak sinetron. Aku sempat tertawa waktu Tante Fang menceritakan kasus teman-teman SMA-nya ini. Tapi aku mau membantu mereka mencari kejelasan. Bersama anugerah kekuatan dan bakat, ada kewajiban dan tanggung jawab.
Aku melepaskan sarung tangan kanan, memaparkan kulitku yang pucat. AC sengaja disetel rendah karena aku sering kepanasan dalam balutan hoodie dan masker.
“Sepertinya Clair masih sangat muda,” kata Advokat Sylvana.
Suaranya terlalu keras untuk jarak tiga meter di antara kami.
“Berapa usiamu, anak manis? Tujuh belas? Sungguh kasihan anak semuda Clair harus terpapar cerita-cerita seperti ini. Jiwanya bisa terguncang. Apakah Anda memikirkan kondisi psikologisnya, Iptu Fara?”
Tante Fang tidak terprovokasi. “Lanjutkan, Clair!” Aku menyapukan telapak tangan sekitar lima sentimeter di atas ponsel, mengukur getaran benda itu. Harus hati-hati, jangan asal pegang. Sebuah benda bisa menghantamku dengan informasi. Contohnya, alat-alat yang digunakan untuk melukai dan membunuh. Advokat Sylvana benar, penampakan kekerasan seperti itu dapat membahayakan aku. Tidak hanya terasa nyata di depan mata, tapi juga dapat mengguncang isi kepala.
Hati-hati aku menyadap kenangan dari ponsel Pak Alam.
Tapi bahkan saat kugenggam, benda itu tidak menampilkan jejak-jejak perselingkuhan. Murni digunakan Pak Alam untuk berkomunikasi dengan keluarga dan relasi bisnis. Hanya di suatu waktu, ada lelaki lain—kuduga office boy—diam-diam menggunakannya untuk mengirim pesan kepada sang kekasih.
“Apa kubilang?” kata Pak Alam kepada istrinya saat kuberitahu penampakan itu.