Sabtu, 15 Desember, pukul 15.30
“Nona Ricci dan Tuan Keiran….” Tante Fang duduk membelakangi ruang pengamat. Dua tamunya duduk di seberang meja, dapat kulihat wajah mereka dengan jelas. Tampak tegang.
Tante Fang mengubah posisi duduk, menjadi lebih santai.
“Enggak usah terlalu formal, deh. Aku Iptu Fara.” Riviera tertawa kecil, terdengar lega.
“Terima kasih, Inspektur. Panggil aku River saja.” Aku ingat saat terakhir melihat gadis itu. Di acara wisuda angkatan mereka di aula DIHS. Aidan menjadi valedictorian, dan River tidak jauh-jauh dari sisinya. Foto mereka berdua bahkan menghiasi hall of fame. Couple of the year. Wajah River tidak banyak berubah dalam setahun ini. Hanya dulu, gadis blasteran Italia itu berambut panjang pirang. Sekarang cokelat.
“Keiran itu namaku. Chandrawinata nama keluarga yang ditulis di depan kalau sesuai akte. Jadi, panggil saja Kei,” kata cowok berpipi chubby di sampingnya, tersenyum. Ah, si babyface yang populer dengan keramahannya. Tapi sampai ia lulus, tidak ada cewek yang berhasil menggaetnya. Coklat Luber, cowok laten lupa puber, begitu mereka menjuluki.
“Jadi, kalian satu sekolah dengan Aidan?” Tante Fang menyebut nama itu tanpa titel menyedihkan.
“Ya, selama di Darmawangsa International School,” Kei menjawab. “Kami berpisah sejak kuliah. Aku di Sekolah Teknik Elektro dan Informatika ITB. River di Kedokteran UNPAD. Dan Aidan, di luar dugaan, enggak diterima di Arsitektur, jurusan impiannya. Lalu memilih Sekolah Tinggi Pariwisata.”
“Baru kuliah tahun ini, kan?” Kei dan River membenarkan.
“Inspektur, kami ingin ketemu Iptu Harris Anwar yang menangani kasus Aidan.” River menghentikan basa-basi.
Tante Fang menggeleng. “Iptu Harris sedang tugas di luar kota. Kasus ini sudah ditutup sebelum ia pergi. Kalau ada pertanyaan, silakan, aku akan coba jawab.”
“Tolong lanjutkan penyelidikan.” River menyambar cepat.
“Iptu Harris pernah bilang, kasus ini enggak wajar. Dia benar. Kami saksinya. Aidan enggak pernah mendekati narkoba dan miras. Merokok saja enggak. Gaya hidupnya bersih. Ia pemain basket, dan secara akademis, selalu masuk top three di sekolah. Enggak mungkin banget overdosis... sampai… sampai….”
Aku mengepalkan tangan yang gemetar. Ingatan itu menyeruak ke permukaan. Berita kecil di koran, nama Aidan Narayana di baris pertama, dan foto mobil tempat tubuhnya ditemukan. Kegemparan di sekolah. Desas-desus dan perdebatan.
Telinga dan hatiku tidak pernah bisa menerima.
Aku tidak mau tahu. Selama beritanya masih tidak utuh, simpang siur, tidak bisa disebut sebagai fakta, bukan? Mereka bisa saja keliru mengenali jenazah. Mungkin Aidan hanya pergi berlibur. Atau memutuskan pindah kuliah ke luar negeri.
Buktinya, setelah tiga minggu, kehebohan itu mereda. Tidak ada perkembangan dalam kasusnya, dan mereka beralih ke topik lain.
Aku pun melanjutkan hidup, menepis kejadian itu seperti mimpi buruk. Mimpi buruk yang sekarang difaktakan oleh River dan Kei.
Tante Fang membuka map, mengangsurkan selembar kertas.
“Ini berita acara minggu lalu, untuk mengingatkan. Kami sudah memberikan keterangan tentang kasus ini kepada keluarga. Semua sudah dilakukan sesuai prosedur. Kalian juga hadir waktu itu dan menyatakan mengerti. Kenapa kalian datang lagi mengajukan tuntutan tanpa dasar?”
“Kami mengerti prosedur, tapi Aidan enggak mungkin melakukan itu!” Kei menjawab tegas.
“Kalau bukan bunuh diri, berarti ada orang lain yang mencelakainya. Apakah kalian tahu sesuatu yang memungkinkan kasus ini dibuka lagi? Kalau ya, kalian bisa mengubah pernyataan.” Tante Fang menunjukkan kertas-kertas lain. “Pada hari kejadian, Nona River menyatakan sedang berada di Bologna, Italia, selama seminggu. Dan Tuan Kei di rumah sakit terkena demam berdarah? Silakan sampaikan kalau ada petunjuk baru.”
Kei dan River saling pandang, lalu serempak menggeleng.
Tante Fang mengangguk. “Berarti, tidak ada lagi yang bisa kami lakukan.”
“Pasti ada! Kami percaya Aidan. Kami kenal dia sejak kecil. Kuliahnya lancar. Hidupnya bahagia. Tidak ada alasan untuk bunuh diri!” Suara River bergetar. Ada isak tertahan.
Ada nyeri yang diikuti rasa besi di mulutku. Aku sudah menggigit bibir sampai berdarah. Di mana aku pada hari nahas itu, Sabtu, 15 September? Di kamar kos, sendirian, memikirkan Aidan. Berandai-andai memiliki kemampuan berbeda untuk menjangkaunya dengan pikiranku. Kepekaan kulit tanganku sama sekali tidak berguna untuk mengusir rindu. Selama kami satu sekolah, aku tidak berani mendekatinya. Aku hanya pengagum rahasia, bersembunyi seperti siput di dalam cangkang.
Kei merangkul River yang sudah menangis sesenggukan.
Tante Fang berkata dengan nada keibuan. “Percaya saja tidak cukup, anak-anak. Kalian tahu, begitu mobil itu ditemukan dengan Aidan di dalamnya, polisi langsung melakukan penyelidikan menyeluruh. Kami sudah mewawancarai semua orang yang mengenal Aidan, termasuk kalian berdua. Faktanya, tidak ada bukti dan kesaksian yang mengarah pada tindak pidana—”
Konsentrasiku teralihkan saat pintu ruang pengamat terbuka.
Cahaya lampu dari lorong menerangi sosok yang baru masuk. Tinggi, tegap, berwibawa dalam balutan seragam hariannya.
Ternyata AKPRI, aku mengangkat tangan untuk menyapa. Tapi caranya memandangku membuatku waspada. Kuhadapkan badan padanya, sementara telingaku kembali mendengarkan Tante Fang.
“—karena ini kasus penggunaan narkoba, penyelidikan dilakukan dalam kaitan peredarannya. Selama tiga bulan ini polisi bekerja nonstop. Tapi semua bukti menunjukkan, kematiannya disebabkan oleh diri sendiri. Mungkin tidak ada niat bunuh diri, hanya kecelakaan pemakaian. Overdosis bisa terjadi pada pemakai pemula. Itu sebabnya, pihak keluarga secara resmi meminta kasus Aidan ditutup demi nama baik—”