Clair: The Death That Brings Us Closer

Republika Penerbit
Chapter #3

Keiran

Sabtu, 15 Desember, pukul 19.30

Aku masih berdiri di depan lemari pakaian yang terbuka lebar. Harusnya mudah. Biasanya juga mudah. Tidak perlu pilih- pilih. Ambil dan pakai, selesai perkara. Di luar seragam sekolah, aku hanya punya tiga lembar t-shirt: putih, abu-abu, dan hitam; tiga buah hoodie: putih, abu-abu, dan hitam; tiga celana panjang: putih, abu-abu, dan hitam. Itu saja bisa jadi 27 setelan dengan kombinasi berbeda. Praktis.

Sebetulnya, Tante Fang punya banyak baju yang bisa diwariskan kepadaku. Tapi sebagus apa pun, tidak bisa aku terima.

Benda-benda warisan menyimpan kenangan pribadi pemiliknya.

Aku tidak mau membawa beban itu di tubuhku. Antibekasan selama yang bisa kuingat, jadi ironis ketika aku hidup di panti asuhan dulu, di mana baju baru identik dengan baju bekas layak pakai.

Ya, orang lain memulai kisah hidup dengan kelahiran. Aku, terjaga pada suatu hari, di usia sekitar tujuh tahun. Dengan tangan ajaib, atau tangan terkutuk, tergantung dari sudut mana kamu memandangnya. Lini masa sebelumnya gelap total, tidak ada di memoriku. Aku tidak ingat.

Bang El, kembaran Tante Fang yang menemukanku pun tidak tahu. Lokasi temuan tidak memberikan petunjuk berarti pula. Tante Fang pernah mencoba menggali, dan sudah terbentur cadas. Sudahlah, tinggalkan masa lalu. Mulai saja riwayat hidupku dari panti asuhan, lalu diangkat anak oleh Bang El, hingga detik ini.

Aku mendesah. Ah, pikiran melantur tidak menyelesaikan masalahku sekarang. Masih ada waktu setengah jam sebelum bertemu Kei. Kenapa pula harus dilewatkan dengan menggalau soal pakaian dan asal-usul? Kecuali rambut ikal basah ini, yang kayak mi instan kelamaan direbus, penampilanku sudah oke. Apa yang membuatku ragu? Jawaban dari lubuk hati mengejutkan diriku sendiri. Aku ingin memberikan kesan baik agar Kei menganggapku layak membantu menyelidiki kasus Aidan… layak menapak tilas kenangan yang ditinggalkan olehnya.

Kenangan yang ditinggalkan olehnya….

Aku sudah punya beberapa! Kuambil kotak kaleng dari kolong dipan. Kenangan yang ditinggalkan Aidan untukku… selama ini… ada di dalam treasure box ini. Dan senyumku merekah, tapi langsung terhapus oleh tusukan rasa sesal. Segera kukembalikan kotak itu ke tempatnya tanpa kubuka. Aku keluar dari kamar.

Lima belas menit lebih awal, aku sampai di Warung Cak Kosim. Warung yang lebih tepat disebut restoran setelah populer di kalangan siswa Darmawangsa. Masih puncak-puncaknya jam makan malam. Tidak ada meja kosong. Aku keluar lagi melalui pintu samping, ada bangku untuk yang menunggu giliran dilayani. Dan di sanalah cowok itu berdiri sendirian, berbicara di ponselnya.

Sepatu kets, jin, kaus, dan jaket parka khaki. Tangan yang bebas masuk ke saku jaket. Rambutnya lebih rapi ketimbang sore tadi di kantor polisi. Ekspresinya… aku menduga ia berbicara dengan seseorang yang sangat dihormati.

Lagi, aku terkena demam pertanyaan. Apa yang akan kukatakan padanya dan bagaimana? Serius, Rhea, kamu harus mulai berpikir sebelum bertindak! Kali ini, kalau salah bicara, kamu tidak akan mendapatkan kesempatan lagi! Keiran memandangku sesaat, mungkin mengenaliku, lalu berbicara lagi di ponsel.

“Saya mengerti. Terima kasih, Bunda. Selamat malam.” Ponsel ia masukkan ke saku sambil berjalan ke arahku. Dari dekat, kuperkirakan tingginya 175 cm, 20 cm lebih tinggi dariku. Ia tampak ragu.

“Kak Keiran... aku Rhea. Kelas 12 DIHS,” kataku buru-buru.

“Panggil Kei saja, Rhea, kamu hanya satu tahun di bawahku.” Ia menganjurkan tangan.

Aku tertegun. Ajakan bersalaman selalu dilematis buatku.

Tetap memakai sarung tangan bikin orang mengernyit heran, kepo, atau langsung menghakimi. Kalau kutolak, orang bakal tersinggung dan langsung menghakimi. Lepas sarung tangan kanan? Aku ‘kesetrum’ dan orang langsung menghakimi. Pakai tangan kiri kayak kidal? Orang juga bakal langsung menghakimi.

Sebelum aku memutuskan pilihan, Keiran menarik lagi tangannya sambil tertawa. “Aku dengar tentang kamu dari Neru.” Matanya turun ke tanganku yang menggantung di samping badan. “Sarung tanganmu itu… Neru bilang, buatan butik paman kami. Kalau semua yang dia bilang benar, aku mau mengambil risiko pakai caramu. Apa pun itu. Untuk Aidan.”

Suaranya semakin pelan. Tapi aku menangkapnya dengan jelas. Respons yang tidak terduga. Ingatkan aku untuk berterima kasih lagi pada Neru. Entah apa saja yang sudah dikatakannya, yang penting sudah membawa cowok ini ke depanku.

“Sepertinya sudah ada meja kosong di dalam. Kita ngobrol sambil makan.” Kei mempersilakan.

Lihat selengkapnya