Sabtu, 15 Desember, pukul 20.45
Kami berdiri di tempat parkir, menghadap ke seberang jalan, pada kompleks Darmawangsa International School. Gerbang utamanya sudah tutup. Lampu-lampu yang berselang-seling dengan pohon menerangi sepanjang jalan masuk. Pada bagian depan, berdiri bangunan rendah playgroup, TK, dan SD, lalu di belakangnya, menjulang gedung-gedung empat lantai SMP dan SMA.
Kei memainkan kunci mobil. Tadi ia sudah pamitan, karena besok pagi-pagi sekali hendak ke Jakarta, katanya. Kami sudah bertukar nomor ponsel dan berjanji untuk saling update. Aku sudah menjabat tangannya lagi. Berfokus mencari kenangan tentang Aidan di menit-menit terakhir. Dalam tiga detik, aku mendapatkan penggalan memori saat Kei dirawat di rumah sakit, dan Aidan menjenguknya, mengiming-imingi dua lembar tiket konser. Rasa penyesalan Kei saat itu begitu kuat, masih kurasakan sampai sekarang. Membaur dengan penyesalanku sendiri.
“Rhe!” Kei melambaikan tangan di depan mukaku. “Apa yang kamu lihat?”
Aku menunjuk ke seberang dengan daguku. “Dua tahun satu sekolah, aku enggak berani mendekati Aidan. Sekarang, aku ingin benar-benar mengenalnya. Tapi enggak mungkin lagi,” kataku, melirih.
“SMA, masa terbaik kami. Belum setahun aku tinggalkan, jadi masih banyak yang segar dalam ingatan. Kamu enggak keberatan mengenal Aidan lewat aku?” Kei mengantongi kunci mobil dan mengulurkan tangan. “Mari….”
Aku tercengang. Apa maksud Kei? Mengenal Aidan lewat tangannya? Jangan-jangan Kei menyadari proses penyadapan kenangan yang kulakukan? “Kamu ragu? Ya, kamu bakal tambah menyesal, sih. Tapi lebih baik, ketimbang enggak kenal sama sekali. Akan kuceritakan langsung dari tempatnya.” Kei mengambil tangan kiriku, membawaku menyeberang jalan.
Ah, aku salah kira. Ia mengajakku masuk ke kompleks sekolah melalui pintu samping. Kami menyusuri jalan setapak yang berbatasan dengan kebun-kebun penduduk sekitar. Sepatuku menimbulkan bunyi berdesik di rerumputan basah. Beberapa kali cowok itu menoleh untuk memastikan aku tidak tertinggal.
Angin malam yang lembap menembus hoodie, mendinginkan tubuhku yang berkeringat karena gairah. Tapi aku jadi waswas, hujan bisa tiba-tiba turun dan mengacaukan momen ini.
Akses dari benteng samping sebetulnya sudah dimatikan dengan tumpukan bata. Tapi rantai pada pintu pagar longgar, bisa didorong, dan kami menyusup masuk. Kami kemudian menyusuri sungai kecil hingga ke belakang gedung SMA. Menyeberangi jembatan, tempat Neru dan kawan-kawannya nongkrong sore tadi. Kuikuti Kei memutari gedung. Tujuannya jelas sekarang.
Lapangan basket.
Tentu saja. Tempat yang sangat bersejarah. Aidan adalah kapten basket Darmawangsa, dan Kei pengatur strategi tim.
Aidan-Keiran menjadi pasangan ikonik kekompakan dan kemenangan.
Kei mengajakku duduk di bangku pemain. Dari sini, aku dapat melihat dengan jelas jendela kelima lantai dua SMA. Bukan jendela kelas, melainkan ruang kontrol AC. Jendela itu tempat favoritku menonton tim basket berlatih. Memperhatikan Aidan dengan leluasa. Alih-alih berdesakan dengan cewek-cewek pengagum Aidan di pinggir lapangan. Setelah Aidan lulus, aku tidak pernah lagi memasuki ruangan itu. Duduk di sini sekarang, untuk pertama kalinya aku menyadari, kalau aku bisa melihat lapangan dengan jelas dari atas, berarti Aidan dan timnya bisa melihatku di jendela itu dengan jelas pula. Oh, ya ampun, ya ampun!
Desahan Kei membuatku menoleh kepadanya. Cowok itu tengah menunduk. “Duduk di sini membuatku berharap, Aidan muncul dari ruang ganti, berteriak padaku, mau pinjam handuk. Aidan suka lupa bawa. Aku biasa bawain handuk cadangan untuknya.”
Hal kecil yang menunjukkan kedekatan mereka, di saat yang sama mempertajam rasa kehilangannya. Kei memandang sekeliling. Menggeleng kecewa. “Di sini malah dia enggak muncul.” Kalimat terakhirnya tidak bisa kupahami. Waktunya menyentuh, memberi Kei simpati tanpa kata, sambil mencari tahu apa yang berkecamuk dalam ingatannya.
Potongan kejadian silih berganti. Di beberapa tempat berbeda pada waktu malam. Kampus, mal, area parkir, bahkan di halaman rumah. Selalu menunjukkan adegan serupa: Kei menoleh ke belakang. Ekspresinya kaget dan heran. Bibirnya menggumamkan nama. Aidan.
Aku melepaskan tangannya. Ini terlalu menyedihkan. Kei seperti melihat Aidan di mana-mana. Dan sekarang, Kei mencari bayangan Aidan di tempat yang paling banyak kenangannya.
Tapi Aidan tidak muncul. Tidak akan pernah muncul. Itu hanya kilasan memori. Kei telah keliru menganggapnya sebagai roh Aidan, lalu membawaku ke sini untuk dijadikan saksi. Mungkin ia bahkan berniat menjadikan aku perantara, berbicara pada Aidan, untuk mendapatkan bukti.
“Kei….” Aku tidak tahu mau bilang apa. Harusnya aku marah dianggap cenayang. Tapi yang ada hanya iba. Rasa frustrasinya pun menulariku.
Cowok itu mengusap muka, lalu memandangku. “Maaf, Rhe. Aku enggak menyangka, di sini, terasa lebih berat…. ”
“Aku mengerti. Pulang saja, yuk? Kamu harus fresh untuk menyetir ke luar kota besok.”
Kei menggeleng. “Sudah sampai di sini. Aku tetap pengin ceritain tentang Aidan. Oh ya, gimana kamu kenal dia? Mungkin ada kenangan khusus dengannya?”
“Khusus? Jangan ngeledek.” Kutinju bahunya dengan tangan kiri, main-main. “Kalau memang ada kejadian spesial, kamu pasti tahu lebih dulu dari Aidan.”
Kei menggeleng. “Aidan bisa sangat tertutup untuk urusan yang dianggapnya wilayah pribadi. Tapi, Rhe, apa yang dianggap biasa saja oleh satu pihak, bisa jadi sangat spesial buat pihak lainnya. Aku tahu itu karena aku punya adik perempuan yang cerewet, tiap hari bercerita tentang gebetannya. Meskipun cowok itu cuma mengambilkan pensil yang jatuh, buat Jesara, dunia serasa lebih ceria. Perasaan Jesara nyata, enggak kuanggap konyol.”
“Waaah, kamu kakak yang baik banget.” Aku benar-benar senang mendengarnya. Isi kotak kaleng di kolong tempat tidurku berarti bukan sesuatu yang aneh dan menggelikan di matanya.