Clair: The Death That Brings Us Closer

Republika Penerbit
Chapter #5

Interlude: Struk Cozy Corner

Kelas 10, Semester I

"Tugas untuk minggu depan, tulislah esai tentang benda atau tempat bersejarah pilihanmu. Lengkapi dengan foto objek atau situsnya. No plagiarism! No picture from the internet. Go there and take it yourself!” kata Miss Jansen, guru creative writing, di akhir sesi pelajarannya.

Ah! Museum dan situs bersejarah! Tempat yang harus kujauhi selain gudang penyimpanan barang bukti di kantor polisi, toko barang bekas, mausoleum, dan pemakaman. Terlalu banyak objek bermuatan kenangan yang intens di satu lokasi.

Bangunannya pun sering menyimpan memori. Secara kolektif, semua itu memancarkan getaran dengan kekuatan berlipat ganda, yang bisa kurasakan bahkan dari halamannya. Aku bisa terkena migrain parah berhari-hari kalau nekat mendekat. Jika aliran kenangan dari satu benda yang kusentuh ibarat air kran yang digerojokkan langsung ke kepala, maka tempat-tempat itu seperti air terjun. Mencari mati kalau aku berdiri tepat di bawahnya.

Pelan-pelan, aku mengangkat tangan. Semua mata di kelas 10A langsung tertuju kepadaku. Bisik-bisik.

Benar kan, Alea diputusin Armand gara-gara dia? Ngaku sahabat, kok bikin ricuh dan sok tahu. Kali dia sendiri naksir Armand. Lihat sarung tangannya, emangnya dia siapa sih, Princess Elsa? Ada yang bilang, tangannya sensitif enggak boleh terpapar udara langsung. Penyakitnya menular enggak? Jauhin aja deh. Freak. Kenapa dia harus di kelas ini sih? Kok bisa diterima di DIHS? Iyalah, kudengar, dia apanya Kapolsek gitu. Lihat saja gayanya, kayak yang kebal hukum.

“Yes, any question, Rhea?” Suara Miss Jansen mengatasi dengung kelas. Sebagai guru yang juga konselor BP, Miss Jansen hafal nama anak yang perlu perhatian khusus, dan ia menyebut namaku.

“Bolehkah saya studi literatur saja, Miss? Tanpa harus ke museum?” Aku buru-buru menurunkan tangan, sebelum seisi kelas terganggu dengan pemandangan sarung tangan hitam yang kupakai.

“Tergantung objek bersejarah yang kamu pilih. Buat saja drafnya dulu, kita lihat apakah kamu bisa akurat menggambarkannya hanya dengan duduk di perpustakaan. Lagi pula, kunjungan langsung dan foto objek dapat menambah nilaimu.”

Aku tidak berkeberatan dengan nilai seadanya, selama perpustakaan dapat membantuku. Dan aku tahu, buku apa yang kuperlukan. Bandoeng Tempo Doeloe. Pernah kubaca-baca sebelum ini.

Saat istirahat, di depan rak referensi perpustakaan, aku mencari. Ah itu dia, letaknya lebih tinggi dari kepalaku. Aku berjinjit menjangkaunya, menyentuh tangan orang lain yang secara bersamaan hendak mengambil buku itu. Terpekik, aku segera mundur. Malah menginjak kaki yang terbungkus sepatu basket. Pemiliknya mengaduh pelan.

Berbalik, kulihat dada seorang cowok. Mataku mendaki dan mendapati wajah Aidan Narayana. Kelas 11A, kapten tim basket, dan semua orang tahu betul berapa senti tinggi badannya. Sering kudengar angka 180 itu disebut, tapi tidak ada artinya bagiku dari jauh. Namun berdiri sedekat ini, untuk pertama kalinya, aku merasa kecil, baik secara harfiah maupun secara konotatif, mengingat nama besarnya.

Tidak. Kutepiskan perasaan itu. Untuk buku yang cuma ada satu dan kini dipegangnya, aku tidak akan mengalah. Tidak adil kalau ia mendapatkan buku itu hanya karena badannya lebih tinggi. Aku duluan yang sampai di sini. “Maaf. Tapi aku perlu buku itu.”

Aidan tersenyum. Aku mengerti sekarang kenapa mereka histeris melihatnya. Senyumnya... sulit untuk digambarkan, kata indah saja tidak cukup. “Pasti untuk tugas creative writing Miss Jansen. Tugasnya sama kayak kelas 10 tahun lalu.”

Aku mengangguk. Menyodorkan tangan.

Aidan malah memeluk buku itu sambil berjalan mundur. “Aku cuma perlu 10 menit untuk ngecek sesuatu. Tunggu, ya.” Begitu saja ia meninggalkanku. Mencari meja kosong, lalu duduk, dan langsung terserap pada halaman-halaman buku.

Sinar matahari dari jendela lebar memberikan efek backlight pada sosok cowok itu. Mataku mengerjap silau, lalu beradaptasi menangkap siluetnya. Lekuk lengkung wajah Aidan dari samping, bahu yang kekar, lengan kukuh, dan jemari yang langsing, dengan dua kaki panjang yang diluruskan di bawah meja. Pemandangan itu mendadak memaku kakiku di tempat. Aku bergeming di antara dua rak.

Tersadar, saat satu tangan cowok itu mengacak- acak rambut sendiri. Sepertinya kesal karena tidak menemukan yang dicarinya. Hmm, apa yang dicarinya? Dan kenapa aku peduli? Tiba-tiba, tiga orang cewek mendekatinya. Berbisik-bisik mengajaknya mengobrol. Cekikikan. Salah satunya adalah mantan teman sebangkuku, Alea. Ya, mantan, karena minggu lalu, ia pindah duduk, menjauh dariku. Gara-gara aku minta Alea waspada dengan Armand. Aku tahu anggota tim basket itu tidak jujur dari boneka kecil yang dihadiahkannya kepada Alea. Boneka itu bercerita banyak tentang gadis lain yang dikencani Armand.

Aku tidak bisa memberitahu Alea dari mana info itu. Tapi dengan sedikit petunjuk dariku, Alea bisa mencari sendiri lengkapnya. Terbakar cemburu, ia melabrak Armand. Entah bagaimana prosesnya, mereka akhirnya putus, dan aku yang dipersalahkan. Tapi duduk sendiri justru membuatku lega. Tidak ada lagi yang mendesakku dengan pertanyaan soal sarung tangan.

Sekarang, ketiga cewek itu menarik-narik Aidan. Cowok itu seperti terpaksa berdiri dan mengikuti mereka. Buku ditinggalkan terbuka di meja. Ia sama sekali tidak menoleh kepadaku.

Tentu saja.

Oh, I am invisible, just like a fly on the wall....

Lihat selengkapnya