Minggu, 16 Desember, pukul 08.10
Aku terjaga oleh klakson dan raungan sepeda motor di gang.
Mimpiku terputus, tapi masih kuingat ujungnya dengan jelas: Aidan di depan rumah kuno, tersenyum hangat dan berpesan agar aku menyimpan kenangannya. Tenang saja, Aidan. Struk itu aman kok, di dalam kotak kaleng di kolong tempat tidur. Bersama benda-benda istimewa lainnya.
Mimpi itu pasti terpicu memori tentang Aidan yang teraduk ke permukaan. Mimpi yang tanggung, kenapa tidak adegan yang lebih indah daripada kenyataan? Misalnya, aku menerima tawaran Aidan berkeliling mengambil foto rumah, kemudian menemaninya membuat sketsa.
Uuhh! Khayalanmu itu, Rhea, hentikan sebelum penyesalan semakin dalam! Aku bangun dan mencari-cari ponsel. Kutemukan di meja belajar, berikut rangkaian kunci apartemen Aidan dan post-it dengan tulisan Kei, “Call me ASAP when you wake up.” Ya, Tuhan. Kejadian semalam! Aku membenamkan muka di bantal, malu sendiri.
Menyadap informasi identik dengan pengerahan energi, dan aku melakukan itu seharian sejak di kantor polisi. Lelah tidak kurasa karena tawaran Kei terlalu menggoda. Kunci untuk mengakses apartemen Aidan dan segala isinya. Ia berikan hanya setelah yakin aku bisa dipercaya.
Aku tidak menghitung-hitung lagi risiko kalau kemampuanku diketahui Kei. Aku tidak sabar ingin bertemu Aidan dalam kenangan. Aku merindukannya. Setelah memaparkan cara kerja Clair dengan ringkas, aku nekat memegang rangkaian kunci Aidan erat-erat.
Namun, tidak terbaca memori apa pun. Aku keburu jatuh terduduk di tanah. Kudengar Kei berseru-seru panik. Kedua tangannya yang hangat menyentuh pipi dan jidatku. Aku tidak tahu prosesnya setelah itu, tahu-tahu aku sudah digendong Kei di punggung. Dan aku berbicara banyak ke telinganya, entah apa saja.
Aku meracau seperti orang mabuk saat energiku terkuras.
Kondisi yang biasanya hanya disaksikan Tante Fang. Ia menyebut kondisi ini sindrom titik nol. Lebih keren daripada korsleting otak yang kuusulkan. Aku hanya perlu tidur nyenyak untuk memulihkan tenaga. Tapi Kei tidak tahu itu. Pasti cemas sekali.
Buru-buru kutelepon cowok itu.
“Rhea! Kamu bikin aku takut semalaman!” Kei nyaris berteriak. “Enggak mau kubawa ke rumah sakit juga, enggak ngebolehin aku telepon tantemu. Aku enggak tahu harus gimana kecuali bawa kamu pulang ke kosan. Baju kamu lembap kena hujan. Kamu mengigau terus. Masih sempat juga mengusir-ngusir aku. Terpaksa aku tinggalin…. Tapi aku kepikiran terus.”
“Itu efek samping Clair. Obatnya cuma tidur. Aku baik-baik saja sekarang.”
“Syukurlah. Oh ya, kunci kamarmu aku lempar ke dalam dari jendela!” Aku memeriksa jendela. Tidak tertutup rapat, dan kunciku ada di kolong meja. Cowok baik, Kei itu. Aku beruntung.
Walau Tante Fang bakal marah besar kalau tahu aku sudah mempertontonkan kekuatan sekaligus kelemahanku pada orang lain. Tapi ia tidak perlu tahu.
Ajaib juga aku masih bisa menyuruh Kei pergi. Kamarku terlarang buat orang lain, apalagi cowok. Pertama, tentu saja tidak patut. Kedua, kamar ini adalah tempat istirahatku secara harfiah. Harus steril dari kenangan orang lain, kecuali yang bisa kukendalikan, seperti benda-benda dalam kotak kaleng itu.
Kei jadi yang pertama. Untungnya, ia tidak banyak menyentuh barang-barangku dan meninggalkan jejak memori. “Terima kasih, Kei. You did the right thing. Apa pun yang aku ocehkan semalam, lupakan saja. Pasti gaje.”
Kei tertawa. “Memang. Jangan khawatir, rahasia Clair aman. Orang lain enggak perlu tahu apa yang kita lakukan untuk Aidan.”
“Bagaimana dengan River?” Tiba-tiba saja aku tidak ingin melibatkannya. Tidak ingin melihatnya ada pada kenangan Aidan.
“River enggak perlu tahu kalau kamu pengin begitu.” Kei menjawab ringan.
Demi Aidan, pikirku, ia rela menyingkirkan cewek yang disukainya. Kei sepertinya mengerti, cemburu dapat merusak suasana dan konsentrasi Clair. “Nanti saja kita libatkan dia kalau perlu, atau kalau kita sudah berhasil membantu Aidan.”
“Aku mengerti,” kata Kei, lalu buru-buru menyambung, “Rhea, kapan kamu mau ke apartemen Aidan? Mau kutemani sepulang dari Jakarta?”
“Enggak usah. Aku harus melakukannya sendiri.” Kuucapkan terima kasih lagi, dan pembicaraan selesai.
Kupandangi kunci apartemen Aidan. Gantungan kuncinya terbuat dari logam, berbentuk kepik imut. Pada rantainya tergantung lima buah anak kunci. Kusapukan telapak tangan kanan lima senti di atasnya. Aku melihat fungsi masing-masing.
Kunci pintu utama, kunci walk-in closet, kunci meja belajar, kunci sepeda, dan kunci sebuah laci. Aidan biasa meletakkan rangkaian kunci ini di atas nakas samping tempat tidur. Atau di saku bagian dalam ransel, kalau ia keluar rumah. Belakangan, Kei menyimpannya di dasbor mobil.
Getarannya tiba-tiba menguat. Kutarik tanganku seakan tersengat. Pelan-pelan, aku menyentuhnya lagi.
Ada tangan terbalut sarung kulit hitam pernah memegangnya….
Bukan aku. Tangan lelaki. Bukan Kei juga.
Tangan itu mengeluarkan kunci dari dasbor tapi buru- buru memasukkannya lagi.
Perasaanku mendadak terganggu, seperti melihat sesuatu yang tidak pada tempatnya. Tapi apa? Siapa dia? Aku mengambil kunci itu, menggenggamnya, mencoba memperluas penampakan.
Mulai lagi dengan tangan lelaki bersarung kulit hitam. Sarung tangan yang biasa dipakai pengemudi sepeda motor.
Bukan Kei, aku semakin yakin.
Tangan itu menggeratak dasbor. Menemukan kunci Aidan. Mengeluarkannya. Mengamatinya. Hanya sesaat.
Besi dingin dengan tepian tidak rata mulai menyakiti telapak tanganku. Konsentrasi! Siapa pemilik tangan bersarung kulit itu? Telusuri lagi! Terhenti sampai siku. Tidak bisa ke atas lagi. Lengan berkulit kecokelatan, yang terburu-buru memasukkan lagi kunci ke dasbor. Lalu penampakannya hilang. Berganti dengan memori saat kunci dipegang Aidan atau Kei. Lebih sering sehingga lebih membekas. Keseharian yang tidak memberikan petunjuk apa pun. Berulang-ulang seperti itu, berarti tidak ada lagi informasi baru.