Clara: Cinta Ambisi dan Darah

Hadi Hartono
Chapter #1

Prolog

– Carilah Pasangan Suami atau Isteri yang Sefrekuensi

Pernikahan sering digambarkan sebagai “akhir dari pencarian cinta”. Namun kenyataannya, ia bukan garis finish, melainkan garis start. Banyak orang menikah dengan euforia, percaya bahwa cinta saja cukup. Padahal, cinta tanpa sefrekuesi hanya akan menjadi jebakan manis yang pelan-pelan berubah menjadi pahit.

Sefrekuesi—sebuah kata sederhana, namun menyimpan makna yang dalam. Ia bukan sekadar tentang kesukaan yang sama, bukan pula berarti kamu dan pasangan harus identik dalam segala hal. Tidak. Sefrekuesi berarti memiliki gelombang yang bisa saling terhubung: visi hidup yang searah, nilai yang tidak saling meniadakan, komunikasi yang bisa bertemu di titik tengah.

Bayangkan dua radio. Yang satu disetel di 90.1 FM, yang satu di 107.5 FM. Keduanya bisa hidup, bisa bersuara, tapi apakah bisa saling mendengar? Tidak. Begitu pula manusia. Jika frekuensi terlalu jauh berbeda, hubungan itu tidak akan pernah nyambung, sekeras apa pun usaha yang dilakukan.

Sayangnya, banyak orang terjebak. Mereka menikah bukan karena sudah menemukan pasangan sefrekuesi, tapi karena terburu-buru, tertekan usia, atau terpikat status. Lalu apa yang terjadi? Tahun pertama mungkin masih penuh kompromi. Tahun kedua mulai muncul gesekan. Tahun ketiga, luka kecil menjadi besar. Dan jika dibiarkan, rumah tangga bisa menjadi neraka kecil yang menyiksa jiwa.

Makna Sefrekuesi dalam Rumah Tangga

Sefrekuesi tidak berarti semua harus sama. Bahkan, terlalu sama kadang membosankan. Justru perbedaan yang sehat bisa memperkaya hubungan. Namun, ada batas yang jelas antara perbedaan yang melengkapi dan perbedaan yang menghancurkan.

Contoh perbedaan yang sehat: suami suka kopi, istri suka teh. Suami lebih suka jalan-jalan alam, istri suka museum. Semua itu hanya warna dalam hubungan, tidak mengganggu inti.

Tapi perbedaan yang menghancurkan adalah ketika visi hidup bertabrakan. Misalnya, suami ingin hidup sederhana, tapi istri terobsesi dengan kemewahan. Suami ingin membangun keluarga yang hangat, sementara istri terlalu fokus pada karier hingga melupakan anak. Atau sebaliknya, istri ingin tumbuh, tapi suami mengekang dengan alasan tradisi.

Sefrekuesi artinya sejalan dalam hal-hal fundamental: nilai, visi, arah hidup, cara menyelesaikan konflik, dan cara memandang masa depan. Jika itu selaras, maka perbedaan kecil tidak akan merusak.

Bahaya Menikah Tanpa Sefrekuesi

Banyak pernikahan gagal bukan karena kurang cinta, melainkan karena cinta mereka tidak bertemu di frekuensi yang sama.

Bayangkan Clara (tokoh fiktif untuk menggambarkan realita). Ia gadis ambisius, lahir dari keluarga terpandang, selalu punya mimpi untuk mandiri. Sejak kuliah, ia jatuh cinta pada dunia fashion, bahkan rela melawan kehendak ayahnya demi mengejar passion itu. Baginya, hidup berarti berkarya, menghasilkan sesuatu yang bisa dikenang.

Lalu ia bertemu Arman. Tampan, mapan, seorang pengusaha yang sibuk. Awalnya, cinta menyatukan mereka. Pernikahan mewah membuat banyak orang iri. Tetapi, di balik senyum pengantin, sudah tersimpan jurang perbedaan. Arman memandang hidup sebagai pertarungan untuk status dan kekuasaan. Sementara Clara ingin kelembutan, dukungan, dan ruang untuk berkarya.

Awal pernikahan masih indah. Tetapi seiring waktu, retakan muncul. Clara merasa sendirian, Arman sibuk dengan bisnisnya. Ketika Clara mulai membangun butik, Arman justru menuduhnya mengabaikan keluarga. “Kamu lebih mencintai gaun-gaunmu daripada aku,” katanya dingin. Clara menangis, merasa tak dipahami.

Apakah mereka saling mencintai? Ya. Tetapi apakah mereka sefrekuesi? Tidak. Dan ketika frekuensi tidak nyambung, cinta berubah menjadi medan pertempuran.

Konflik yang awalnya kecil berubah jadi pertengkaran besar. Clara butuh pasangan yang mendukung, tapi Arman butuh istri yang tunduk. Perbedaan visi itu menjadi jurang yang semakin lebar. Hingga akhirnya, perceraian menjadi pilihan. Namun, bahkan setelah berpisah, luka itu tetap membekas.

Lihat selengkapnya