Rumah Keluarga Clara, Bandung
Angin sore itu berembus pelan menembus jendela besar berbingkai kayu jati di rumah keluarga Anindya. Rumah itu tidak sekadar besar, melainkan simbol status: halaman luas, mobil mewah berjejer di garasi, dan ruang tamu berhias lampu kristal yang selalu menjadi bahan cerita para tamu undangan setiap kali keluarga ini menggelar acara.
Di sanalah Clara kecil tumbuh—di tengah segala kemewahan, tetapi juga bayangan panjang kakaknya.
“Lihat, Kak Citra lagi dapat juara umum lagi.” Suara Bu Anin, ibunya, terdengar riang ketika membuka rapor putri sulungnya. Senyum lebar menghiasi wajahnya.
Pak Anin, sang kepala keluarga, menepuk bahu Citra dengan bangga. “Anak Ayah memang hebat. Lihat, nilainya sempurna semua. Tidak ada cacat. Kamu benar-benar teladan.”
Clara duduk di sudut sofa, tangannya menggenggam erat buku gambar yang sedari tadi ia coret-coret. Matanya melirik ke arah rapor itu, lalu ke arah senyum bangga kedua orang tuanya. Rapor Clara sendiri masih tertutup di pangkuan Bu Anin, belum sempat dibuka.
“Bagaimana dengan Clara?” suara Clara lirih, hampir tenggelam oleh tawa bahagia keluarga.
“Oh, nanti Ibu lihat.” Bu Anin menjawab seadanya, seolah nilainya tidak sepenting Citra.
Clara menunduk. Ia tidak bodoh. Nilainya tidak buruk, tapi ia tahu ia bukan bintang seperti kakaknya. Dan setiap kali momen ini tiba, ia merasa dirinya hanyalah bayangan.
Malam itu, saat semua orang tidur, Clara diam-diam duduk di meja belajarnya. Ia menatap buku catatan berisi coretan tentang gaun, warna, dan potongan kain yang ia impikan.
“Kenapa aku harus selalu jadi Clara, adik yang kalah dari Citra?” gumamnya pelan.
Tangannya menari di atas kertas, menggambar rancangan gaun yang hanya ada di kepalanya. Ia tahu, di mata keluarganya, gambar-gambar itu tidak berarti. Tapi bagi Clara, itu adalah napas. Itu adalah dunia yang memberi makna ketika dunia nyata menolaknya.
Suatu sore, Pak Anin mendekatinya di teras rumah. “Clara,” katanya dengan suara serius.
Clara menoleh, “Ya, Ayah?”
“Ayah ingin kamu belajar sungguh-sungguh seperti Kak Citra. Kamu juga harus jadi kebanggaan keluarga. Nilai sekolahmu… masih biasa saja. Kamu bisa lebih baik dari itu.”
Clara menggigit bibir. “Aku mencoba, Yah. Tapi… aku suka hal lain. Aku suka menggambar, aku suka… kain, model…”
Pak Anin menghela napas panjang. “Menggambar? Itu hobi. Bukan masa depan. Ingat, kita keluarga terpandang. Orang akan melihat ke mana anak-anak Anindya melangkah. Kakakmu sudah jelas jalannya, dia calon dokter. Kamu? Jangan buang waktu dengan hal sepele.”
Clara diam. Kata-kata itu menusuk, tapi juga menyalakan api kecil dalam dirinya.
“Kalau Ayah tidak percaya, aku akan buktikan suatu hari nanti,” bisiknya dalam hati.
Hari-hari berikutnya Clara jalani dengan dua wajah. Di sekolah, ia berusaha keras memperbaiki nilai, berlari agar tidak terus dianggap kalah. Tetapi di kamar, ia kembali pada dunianya: menggambar gaun, memotong kain bekas, dan menjahit seadanya dengan mesin tua milik neneknya.
Kadang Bu Anin masuk ke kamarnya dan berkata, “Clara, jangan buang waktu dengan kain-kain itu. Belajarlah. Kamu harus masuk universitas yang bagus nanti.”
Clara hanya mengangguk, tapi dalam hati ia berjanji, “Aku akan tetap menjahit, Bu. Karena inilah aku.”
Masa remaja Clara tidak semanis yang dibayangkan orang tentang anak keluarga kaya. Ia sering kesepian, merasa tak ada yang benar-benar memahami. Kakaknya sibuk dengan prestasi akademik, orang tuanya sibuk menjaga reputasi keluarga. Clara tumbuh dengan tekad yang perlahan mengeras: ia tidak akan selamanya hidup dalam bayangan.
Sore itu, ketika matahari mulai tenggelam di balik pohon flamboyan di halaman, Clara menatap cermin besar di kamarnya. “Aku bukan Citra. Aku Clara. Dan aku akan menemukan jalanku sendiri.”
**
Bandung menyambut Clara dengan kesejukan yang tak pernah ia rasakan di rumah besar keluarganya di Jakarta. Jalan-jalan dipenuhi pepohonan rindang, bangunan kolonial berdiri anggun berdampingan dengan gedung modern, dan di antara itu semua, kampus barunya menjadi ruang yang asing sekaligus menjanjikan. Clara berdiri di gerbang Fakultas Ekonomi, menatap papan besar bertuliskan “Jurusan Manajemen”. Hatinya sempat bergetar, bukan karena semangat, melainkan karena sebuah keraguan yang ia pendam rapat-rapat.
Hari-hari kuliah berjalan sebagaimana mestinya. Dosen-dosen datang membawa materi tentang teori organisasi, manajemen keuangan, hingga perilaku konsumen. Clara menuliskan catatan, tapi lebih sering tangannya tergoda menggambar sketsa kecil di pinggir buku. Gaun-gaun sederhana dengan potongan aneh, kadang hanya permainan garis, tapi justru itu yang membuatnya betah duduk berjam-jam.
Suatu pagi, ketika dosen menjelaskan teori klasik manajemen Fayol, Clara kembali hanyut dalam dunianya. Ia menggambar sebuah rok panjang dengan lipatan berlapis. Pikirannya melayang membayangkan bagaimana kain itu jatuh mengikuti langkah seorang model. Hingga tiba-tiba suara tegas memanggil namanya.
“Saudari Clara?”
Ia mendongak kaget. “Iya, Pak?”