Clara: Cinta Ambisi dan Darah

Hadi Hartono
Chapter #3

Clara Hobi Desain Busana

Clara Hobi Desain Busana

Clara duduk di meja belajarnya, menatap setumpuk buku manajemen yang sudah terbuka sejak sore. Judul-judul tebal menghantam matanya: “Teori Organisasi”, “Strategi Bisnis”, “Dasar-Dasar Manajemen”. Semua itu tampak asing, dingin, dan jauh dari yang diinginkannya. Tangannya gemetar ketika ia menutup buku dengan kasar, lalu menarik napas dalam-dalam.

Hatinya terasa penuh. Ada sesuatu yang ingin keluar. Sejak beberapa bulan terakhir, ia semakin yakin bahwa dunia manajemen bukan jalannya. Hatinya bukan di angka, laporan, atau teori. Hatinya berada di kain, benang, jarum, dan rancangan yang hanya hidup di kepalanya.

Namun, bagaimana mungkin ia bisa mengatakannya pada ayahnya, Pak Anin? Seorang pengusaha keras, dihormati, dan perfeksionis. Pria yang selalu mengajarkan bahwa hidup hanya akan berhasil kalau kau mengikuti jalur yang sudah terbukti. Baginya, fashion hanyalah permainan, bukan pekerjaan.

Clara menghela napas dan keluar dari kamarnya. Di ruang keluarga, Pak Anin duduk dengan kacamata di ujung hidung, membaca koran sore. Di sampingnya, Bu Anin sedang menyiapkan teh hangat. Rumah itu tenang, tetapi Clara tahu, ketenangan itu bisa pecah kapan saja kalau ia salah bicara.

“Ayah, boleh bicara sebentar?” suara Clara pelan, namun cukup jelas.

Pak Anin menurunkan koran, menatap anak gadisnya dengan sorot tegas. “Ada apa?”

Clara duduk di sofa, menyusun keberanian. “Aku ingin membicarakan soal kuliahku. Aku… merasa manajemen bukan bidang yang aku cintai. Aku ingin serius di bidang fashion.”

Hening. Kalimat itu melayang di udara seperti bom yang baru saja dijatuhkan.

Pak Anin meletakkan koran dengan gerakan keras. “Fashion? Clara, kamu ini bicara apa? Kamu sudah setengah jalan kuliah manajemen. Mau berhenti begitu saja?”

“Aku tidak bilang berhenti kuliah, Ayah. Aku hanya ingin… fokus. Aku ingin belajar desain, belajar menjahit, bahkan kalau perlu aku cari kursus. Aku merasa itu jalanku.” Clara mencoba menjelaskan, suaranya bergetar.

Pak Anin mengerutkan dahi. “Itu bukan jalan hidup, itu hanya hobi. Kamu pikir hidup bisa dijalani dengan menggambar gaun? Kamu pikir uang datang dari sana?”

Clara menatap lantai, jantungnya berdetak keras. “Banyak orang sukses di bidang itu, Yah. Aku percaya kalau aku sungguh-sungguh, aku bisa—”

“Cukup!” suara Pak Anin meninggi, membuat Bu Anin menoleh cepat. “Aku tidak mau dengar lagi. Kamu akan selesaikan kuliah manajemenmu. Titik.”

“Ayah…” Clara mencoba menahan tangis. “Kenapa Ayah tidak pernah mau mendengarkan apa yang aku mau? Hidup ini punyaku, bukan hanya rencana Ayah.”

Pak Anin berdiri, tubuhnya tegang. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang hidup! Semua ini untuk kebaikanmu. Aku tidak mau anakku jadi bahan tertawaan orang. Aku sudah susah payah membangun nama baik keluarga ini, dan kamu mau menghancurkannya hanya karena fantasi jadi perancang busana?”

Air mata menetes di pipi Clara. Ia tahu, kata-kata ayahnya bukan sekadar penolakan, tapi juga cerminan harga diri seorang kepala keluarga.

“Cukup sudah,” Pak Anin berbalik, meninggalkan ruangan dengan langkah keras.

Bu Anin menatap putrinya, lalu perlahan mendekat. Ia meraih bahu Clara. “Nak, jangan menangis. Ayahmu memang keras, tapi hatinya baik. Ia hanya takut kamu gagal.”

Clara mengangkat wajahnya, suaranya pecah. “Tapi Bu, aku yakin ini jalanku. Aku tidak ingin hidup dengan pilihan orang lain. Aku ingin membuat sesuatu yang aku cintai.”

Bu Anin menarik napas panjang, matanya lembut. “Kalau begitu, buktikan. Jangan berhenti kuliahmu, tapi gunakan waktumu untuk belajar apa yang kamu mau. Kalau Ayahmu melihat kamu sungguh-sungguh, mungkin suatu hari ia akan mengerti.”

Clara terdiam. Di balik kelembutan ibunya, ia tahu ada dukungan yang tulus. Meski diam, ibunya percaya padanya. Dan itu sudah cukup untuk menyalakan kembali tekadnya.

Malam itu, Clara kembali ke kamarnya. Ia menyalakan lampu meja, mengambil kertas kosong, dan mulai menggambar. Garis-garis sederhana muncul: gaun dengan potongan klasik, detail renda di pinggir, warna-warna yang hanya ada di imajinasinya. Tangannya bergetar, bukan karena ragu, tapi karena semangat yang membara.

Namun, menggambar saja tidak cukup. Ia harus belajar lebih. Ia mulai mencari informasi tentang kursus desain, tutorial menjahit, bahkan mengunjungi toko kain hanya untuk menyentuh teksturnya. Setiap malam setelah kuliah, ia menyibukkan diri di kamar, memotong kain kecil-kecil, mencoba menjahit dengan mesin tua peninggalan neneknya.

“Jarumnya macet lagi…” gumamnya frustrasi suatu malam. Jarum mesin jahit patah, kain berantakan. Clara menekuk wajahnya, hampir menyerah. Tapi ia teringat kata-kata ibunya: buktikan.

Hari demi hari, kamar Clara berubah menjadi studio kecil. Dindingnya penuh dengan sketsa. Lantai dipenuhi kain, benang, gunting, jarum. Suara mesin jahit tua menjadi musik pengiring malam-malam panjangnya.

Suatu malam, Bu Anin masuk diam-diam membawa segelas susu. Ia melihat Clara tertidur di kursi dengan kepala menunduk di atas kain setengah jadi. Bu Anin tersenyum getir. Ia tahu putrinya sedang berjuang keras. Perlahan ia menyelimuti Clara dan berbisik, “Ibu percaya kamu bisa, Nak. Jangan menyerah.”

Namun, Pak Anin berbeda. Ia sering mengetuk pintu kamar dengan keras ketika mendengar suara mesin jahit. “Clara! Kamu bukannya belajar, malah mainan itu terus! Jangan buang waktumu!”

Clara hanya diam, menahan air mata. Ia tahu perlawanan hanya akan memperbesar pertengkaran. Ia memilih menjahit dalam senyap, berjuang tanpa banyak bicara.

Meski begitu, rasa kesepian sering menghantuinya. Di saat teman-teman kuliahnya sibuk dengan organisasi atau bersenang-senang, Clara terjebak antara dua dunia: kewajiban kuliah dan mimpi fashion yang ia kejar diam-diam.

Dalam kesendirian itu, ia sering berbicara pada dirinya sendiri. “Aku tidak boleh kalah. Aku harus buktikan kalau aku bisa. Suatu hari, Ayah akan melihat.”

Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Perlahan, keterampilan Clara bertambah. Jahitannya masih kasar, tapi sketsanya semakin hidup. Setiap kali ia berhasil menyelesaikan sebuah karya kecil, hatinya bergetar dengan kebahagiaan yang tak bisa ia dapat dari manapun.

Sampai suatu hari, ia mendengar pengumuman tentang lomba desain kecil-kecilan di Bandung. Bukan ajang besar, hanya sebuah acara di aula kampus seni, tapi itu kesempatan. Clara menggenggam brosur itu dengan tangan gemetar.

“Mungkin ini langkah pertamaku…” bisiknya.

Namun, bayangan wajah keras ayahnya kembali menghantui. Bagaimana kalau ia gagal? Bagaimana kalau ayahnya tahu dan semakin marah?

Di sinilah dilema itu menguat. Antara rasa takut dan rasa ingin membuktikan.

Dan Clara tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih jalannya sendiri.

**

Clara menatap gaun sederhana yang tergantung di depan matanya. Kain itu sudah ia jahit berhari-hari, penuh dengan benang kusut dan tusukan jarum yang sering salah arah. Gaun itu jauh dari sempurna, tapi bagi Clara, itu adalah anak pertama dari mimpinya. Malam-malam panjang, tangisan tertahan, hingga darah kecil di ujung jarinya karena jarum, semua tersimpan di sana.

Lihat selengkapnya