Clara Butik dan Fashion Show
Tahun 2006 menjadi tonggak bersejarah bagi Clara. Ia baru lulus kuliah manajemen, dan dengan tabungan seadanya ditambah sedikit pinjaman diam-diam dari ibunya, ia berhasil menyewa sebuah ruko kecil di daerah Dago, Bandung. Dari luar, bangunan itu tidak istimewa—catnya sudah pudar, papan namanya pun sederhana hanya bertuliskan: “Clara Atelier”. Namun bagi Clara, itu adalah istana impian.
Hari pertama butik itu dibuka, Clara berdiri di depan kaca besar sambil merapikan gaun hasil karyanya yang dipajang di manekin. Hatinya campur aduk: bangga sekaligus cemas. Jalanan depan ruko ramai dilewati anak-anak muda Bandung, tapi hanya segelintir yang menoleh.
“Semoga ada yang masuk,” bisiknya pelan, menggenggam erat buku catatan transaksi kosong di meja kasir.
Seharian ia menunggu. Ada satu-dua orang masuk, melihat-lihat sebentar, lalu pergi dengan alasan “cuma lihat-lihat.” Sampai sore hari, tidak ada satu pun yang membeli. Clara berusaha tetap tersenyum, tapi ketika malam tiba dan ia menutup pintu kaca, air matanya menetes.
“Kenapa sesulit ini, ya Tuhan…”
Malam itu, Bu Anin datang membawa makanan. Ia tahu putrinya butuh dukungan.
“Gimana hari pertamanya, Nak?” tanya ibunya sambil meletakkan rantang nasi goreng di meja.
Clara menghela napas panjang. “Sepi, Bu. Tidak ada yang beli.”
Bu Anin tersenyum lembut. “Namanya juga baru mulai. Orang-orang butuh waktu untuk mengenalmu. Jangan langsung putus asa.”
Clara duduk di lantai, memandangi gaun-gaun hasil karyanya. “Tapi modal sudah hampir habis, Bu. Kalau terus seperti ini, sebentar lagi aku tidak bisa bayar sewa.”
Ibunya meraih tangan Clara. “Kalau memang ini jalanmu, teruslah berjalan. Ingat apa yang kamu bilang dulu? Kamu hidup saat mendesain. Jangan biarkan rasa takut merampas nyawamu sendiri.”
Clara mengangguk, meski hatinya masih berat.
Hari-hari berikutnya berjalan serupa. Butiknya tetap sepi. Ia mencoba berbagai cara: membagikan brosur di kampus, menitipkan kartu nama di kafe-kafe, bahkan menulis artikel kecil tentang fashion di majalah komunitas. Namun hasilnya belum memuaskan.
Suatu malam, setelah menghitung ulang sisa modal, Clara menutup buku catatannya dengan wajah pucat.
“Kalau begini terus, dua bulan lagi aku gulung tikar…” gumamnya.
Ia berjalan mondar-mandir di butik yang sunyi. Pandangannya jatuh pada sebuah poster fashion show internasional yang pernah ia ambil dari majalah. Hatinya berdegup.
“Show besar…” bisiknya. “Mungkin itu satu-satunya cara.”
Keesokan harinya, Clara mulai merancang rencana gila: menggelar fashion show besar-besaran untuk memperkenalkan namanya. Ia tahu risikonya: butuh biaya besar untuk gedung, pencahayaan, model, make-up, dan promosi. Namun tanpa langkah berani, ia akan tenggelam.
Sore itu, ia menelpon Bagas, jurnalis yang dulu sempat menaruh perhatian padanya.
“Mas Bagas, aku Clara… masih ingat?” suaranya ragu.
Bagas di seberang tertawa kecil. “Tentu. Apa kabar, Clara si gadis nekat?”
Clara tersenyum tipis. “Aku baru buka butik, tapi sepi. Aku ingin bikin fashion show besar. Gila, kan?”
“Gila, iya,” jawab Bagas. “Tapi terkadang dunia memang butuh orang gila. Kamu butuh apa dariku?”
“Kalau bisa… bantu liputan, atau kasih masukan bagaimana menarik perhatian media.”
Bagas berpikir sejenak. “Bisa. Tapi ingat, kalau kamu serius bikin show, jangan setengah-setengah. Media hanya melirik yang berani tampil mencolok.”
Malam itu Clara tidak bisa tidur. Ia menuliskan daftar kebutuhan show: sewa ballroom hotel, lighting, musik, model, undangan VIP, dan lain-lain. Angkanya membuatnya tercekik.
“Seratus juta lebih… dari mana aku dapat uang sebanyak ini?”