"Hoy! Ngelamun aja. Nggak ke Ormawa?" Ara, gadis kuncir kuda yang menjadi sahabat Rea sejak SMP menepuk pundaknya cukup keras.
"Nggak dulu, lah. Suntuk."
"Kenapa? Takut ketemu mantan? Yaelah, hari gini gagal move on? Tenggelam aja ke laut."
Rea memukul lengan Ara. Menjejal mulut bocor sahabatnya itu dengan saus tomat yang memang sudah tersedia.
"Nggak usah sok tahu. Gue nggak ada jadwal piket atau rapat hari ini."
"Nggak perlu nyocolin saus ke mulut gue juga kali. Pedes, nih."
"Mulut lo emang pantes dicocolin. Masih untung saus tomat, bukan sambel."
Rea berdiri, menyampirkan tas selempangnya ke pundak dan berlalu pergi.
"Mau kemana lo? Gue baru dateng, Re."
"Pulang!" teriak Rea tanpa menoleh ke belakang. Ia hanya ingin pulang dan tidur. Melepaskan segala penat efek tugas kuliah yang menggunung bak amoeba, bakteri yang bisa membelah diri.
"Rea, tunggu." Rea menoleh, bisa dia lihat Arsan berlari ke arahnya sambil memegang sebuah lembaran yang sepertinya Rea tahu isinya. Gadis itu memilih menunggu Arsan dari ujung gerbang kampus. Feeling-nya langsung tidak enak seketika. Biasanya, jika Arsan menemuinya langsung, pasti ada hal menyebalkan yang harus Rea selesaikan.
"Mau kemana lo?"
"Pulang. Ada apa?"
"Pulang? Lemah. Masih jam dua udah ngandang aja?"
Rea berdecak kesal. Tak tahukah Arsan bahwa Rea mengantuk berat? Hari ini mata kuliahnya sudah sangat menguras otak, ditambah berbicara dengan Arsan? Mau pecah rasanya.
"Bawel. Ada apa?" ucapnya kesal. Arsan tertawa kecil. Menyerahkan selembar poster berisi lomba desain arsitektur nasional.
"Lo ikut seleksi untuk lomba Sepekan Arsitektur 2019, ya? Nggak boleh nolak."
"Iya, gue daftarin pake nama gue, tapi lo yang maju nanti. Lo gambar itu danau dari yang kumuh penuh sampah, banyak rumput setinggi pagar kampus, sampai jadi tempat yang instagram-able, ya?"
"Yaelah, Re, lo kan tahu gue nggak jago gambar. Jangankan bikin danau, bikin garis lurus aja masih miring-miring."
"Lalu?"
Arsan menghela napas, memandang gemas ke arah Rea. "Nanti diseleksi, Re. Coba aja dulu. Biasanya juga lo rajin ikut kompetisi beginian."
"Tugas gue masih banyak yang belum selesai, San. Yang kemarin karena memang lagi nganggur. Nanti gue pikirin lagi. Pamit, ya, San?" Rea langsung pergi dari hadapan Arsan. Mengindahkan panggilan Arsan yang pastinya membuat mereka berdua menjadi pusat perhatian.
Rea jarang membawa kendaraan pribadi ke kampusnya. Dia biasa diantar ayahnya. Bukan, bukan karena Rea tidak bisa berkendara, tapi, karena Rea mudah mengantuk, terutama jika ia menumpang kendaraan orang lain.
Rea menatap sekeliling kampus. Ayahnya tidak bisa dihubungi. Mungkin sibuk, pikirnya. Ayahnya itu, jika sudah bekerja pasti selalu lupa waktu.
Sedang asyik menatap jalanan yang mulai sepi, jantung Rea mendadak berdegup kencang. Dia hapal tanda-tanda ini. Satu tahun lalu, Rea selalu merasa seperti ini jika dia ada di sekitarnya. Rasanya, sudah lama sekali Rea tidak merasakan degupan ini.
"Rea Lova?" Ah, tepat seperti yang Rea duga. Sialnya lagi, suara rendah itu menyapanya dengan nada dan panggilan yang biasa dia gunakan dulu. Masih sama, tidak ada yang berubah sedikitpun.
Rea tak tahu kenapa jantungnya selalu berdegup kencang saat Kavi akan muncul di dekatnya. Dia seakan memiliki radar khusus untuk Kavi. Dulu Rea suka, sekarang tidak. Lebih tepatnya, mencoba untuk tidak menyukai debaran ini.
Rea membalikkan badannya sambil tersenyum sok ramah. "Hai, Mantan," sapa Rea. Satu bulan berlalu sejak pertemuan perdana mereka setelah putus membuat Rea sudah sedikit mahir mengendalikan perasaannya. Ia tak ingin Kavi berpikir bahwa Rea gagal move on. Walaupun dalam kenyataannya memang seperti itu.
Putus bukan berarti jadi musuh, kan?
"Mau pulang?"