Rea merenggangkan otot tangannya yang kaku. Ia baru saja menyelesaikan sepuluh sketsa taman kota untuk tugas kuliahnya. Dia menyeruput secangkir kopi susu yang tinggal sedikit. Sekejam itu memang tugas kuliahnya.
Jam dua pagi. Lima jam ngerjain tugas tanpa istirahat.
Matanya menatap gelapnya langit malam yang kini sedang mendung. Ia sengaja membuka jendela kamarnya, membiarkan angin dingin menjernihkan pikiran.
Jika dulu, ada Kavi yang akan menemaninya begadang hingga tak jarang laki-laki itu tertidur. Namun, sekarang dia hanya sendiri. Dulu, dia begitu bahagia. Serasa hari-hari lelahnya bisa ia lewati dengan mudah karena Kavi yang selalu memerhatikannya.
"Hai, Sayang," sapa Kavi saat ia sampai di rumah Rea. Malam minggu menjadi malam rutinnya ke rumah Rea. Sekadar mengobrol atau menemaninya menonton drama Korea.
"Kenapa, hm? Tumben aku datang nggak disambut," tanya Kavi saat kekasihnya itu hanya diam tanpa membalas sapaannya. Kavi duduk di sebelah Rea. Menatap dalam kekasihnya.
"Aku capek, baru pulang kerja kelompok. Kenapa, sih, tugas sekolah semengerikan itu?" racaunya. Ia benci fisika, kimia, dan sejenisnya. Saat tes pembagian jurusan dulu, ia sudah menargetkan IPS, tapi kenyataannya, dia malah masuk jurusan IPA.
"Tahan dulu, Sayang. Sebentar lagi lulus, kan? Mau jadi arsitek, kan?"
"....."
"Hey, udah, dong. Aku bikinin makanan, ya? Aku baru belajar buat escargot. Mau?"
Raut muka Rea langsung sumringah. Kavi tersenyum lega. Kekasihnya ini sangat suka makan, dan dia dengan senang hati memasak sesuatu untuk mengembalikan senyum ceria Rea. Baginya, sudah harga mati untuk selalu membuat Rea bahagia. Apa pun akan Kavi lakukan demi seulas senyum menenangkan Rea.
"Mau, dong! Kamu memang yang terbaik! Love you, Sayang."
"Love you more, My Lova."
Rea tersenyum tipis dalam lamunannya. Kenangan bersama Kavi kembali menelusup masuk ke ingatannya. Ia tidak ingin munafik bahwa dirinya masih mencintai Kavi. Nyatanya, selain sakit, ada bahagia yang ikut menyertai kisah mereka. Rea tak tahu sampai kapan dia mampu menatap Kavi dengan tenang tanpa ada rindu di dalamnya. Dia akan mencoba berteman, karena putus tak harus jadi musuh.
"Hari ini pulang jam berapa, Sayang?" tanya Ardi. Ia sudah sampai di kampus putri kesayangannya. Kegiatan rutin yang selalu dia lakukan yaitu mengantar anak gadisnya ke kampus.
"Selesai kelas jam tiga, nanti langsung pulang."
"Ya sudah, tunggu Ayah, ya?"
"Aku bisa naik bus atau ojek online, Yah. Kasihan kalau Ayah harus jemput aku dan balik lagi ke kantor."
"Justru Ayah lebih tenang kalau kamu Ayah antar jemput. Kejahatan sekarang ada di mana-mana, Re. Ojek online sekalipun."
Rea hanya diam, percuma saja membantah ayahnya. Tetap tidak akan menang.
"Atau ..." sambung Ardi. Melirik Rea yang kini menatapnya.
"Atau?"
"Atau minta antar jemput Kavi aja."
Rea menganga, menatap ayahnya tak percaya. Dari sekian banyak solusi, kenapa harus itu yang keluar dari mulut ayahnya?
"Ayah bercanda? Masa iya ngojekin mantan, Yah?"
Ardi terbahak. Bukannya ia tak tahu perihal hubungan Rea dan Kavi. Meskipun sudah berakhir satu tahun yang lalu, Ardi tahu bahwa perasaan Rea masih sebesar itu untuk Kavi.
"Ya, nggak apa-apa, dong. Takut baper lagi?"
"Y-ya, nggak, lah. Ngapain aku baper sama mantan?"
"Yakin? Awas, ya, kalau balikan lagi."
Rea mulai gelisah. "Emang Rea nggak boleh balikan sama Kavi?"
"Jadi ada rencana mau rujuk lagi sama dia?"
"Ya ... nggak gitu juga, Yah. Tahu ah! Ayah ngeselin!"
"Hahaha..." Ardi sampai di depan kampus Rea.
"Rea masuk, ya, Yah. Semangat kerjanya!" Rea menyalami Ardi. Tak lupa mencium kedua pipi Ardi.
"Kamu juga. Jangan mikirin Kavi saja." balas Ardi jahil. Wajah Rea memerah tipis.
"Ayah rese! Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Ardi masih menatap punggung Rea hingga anak semata wayangnya itu sudah tak terlihat lagi.
Rea pernah bertanya pada Ardi, "Ayah, nggak mau menikah lagi? Rea nggak apa-apa kok, punya Mama baru."
Ardi hanya menggeleng saat itu sambil tersenyum. Cintanya sudah di bawa mati oleh istrinya. Meninggalkan berlian paling berharga di hidupnya yaitu Rea. Sudah tak ada lagi niatan untuk kembali menikah sekarang ini. Baginya, Rea adalah segalanya saat ini. Seseorang yang menjadi tanggung jawabnya. Dia hanya ingin berjuang merawat Rea. Karena Ardi hanya punya Rea.
"Rea!" teriak Ara dari depan lab. Gadis itu melambaikan tangannya. Rea memutar matanya.
"Selamat pagi, Cantik!" sapa Ara.
"Norak! Minggir, gue mau lewat." Rea lantas menabrak bahu Ara. Gadis malang yang kena omel Rea itu merengut dan menyusul sahabatnya.
"Kenapa, sih? Masih pagi, woy, jangan nge-gas dulu."
"Emang gue bajay pake nge-gas?"
"Lah, kocak! Bajay mah ngeles, Neng. Cantik-cantik, kok, bego, sih."
"Orang yang lo bilang bego ini nyatanya juara dua lomba bangun rancang tata ruang tiga bulan lalu dan bertahan di rantai cumlaude dari semester awal, Sist."
"Kok Anda belagu, ya?" ketus Ara sebal.
Rea tersenyum miring. Ara memang selalu kalah jika dia mulai mengungkit prestasinya. Ya, beginilah cara bercanda mereka. Rea hanya akan menyombongkan pencapaiannya pada Ara. Ara sendiri tidak akan menanggapi serius kesombongan Rea. Sereceh itu memang mereka berdua.