Rea memasang wajah jengkel saat Ara masih menertawakan kebodohannya di ruang Ormawa tadi sore. Salahnya juga langsung berteriak panik begitu ada suara yang mengagetkannya. Untung lah cuma Ara yang melihatnya, semalu-malunya Rea, hanya dia dan sahabatnya saja yang tahu. Ara juga tidak mungkin menyebarkan aib Rea. Bayangkan jika orang lain yang melihatnya tadi. Atau yang lebih parah adik kelasnya. Bisa malu sampai ke ubun-ubun, kan?
"Udah sih, Ra. Ketawa mulu lo. Kesel banget gue," omel Rea. Tawa Ara sudah mereda, tidak seperti tadi. Meskipun sulit, Ara berusaha untuk meredamnya.
Ya, orang yang berdiri di depan pintu tadi adalah Ara, pelaku penyebab teriakan konyol Rea.
"Lagian lo ngapain, ha? Kayak orang idiot aja teriak-teriak sendiri."
Gara-gara kata-katanya Arsan, Ra. Gue nggak mungkin bilang gitu, kan? Bisa-bisa lo ngetawain gue lagi.
"Ya ... gitu. Lo ngapain sih, tadi gebrak pintu segala? Bikin orang jantungan aja. Untung ini jantung buatan Tuhan, coba kalau buatan manusia, udah hancur kali."
"Gue dari tadi nyariin lo, Dodol. Kelar matkul langsung cabut aja, gue manggil nggak digubris. Terus tadi gue ketemu kadep lo, katanya lo ada di markas. Kata Arsan lo cuma sendirian di sana, dia takut lo kesurupan jin markas, jadi ya gue di suruh gebrak pintu dulu."
Sialan si Jidat Lapangan. Awas aja besok. Emang nggak cukup apa, gue doang yang didoktrin? Pake segala takut gue kesurupan pula. Yang bikin gue parno kan dia.
"Heh! Malah ngelamun. Woy, Rea-rea!" sentak Ara.
"Hah? Apaan?"
"Lo kenapa, sih? Si Arsan habis ngomong apaan ke lo? Kok mendadak jadi bego gini—aww.. sakit, Nyed. Mentang-mentang anak Jujitsu, maen tendang aja. Kaki, nih, bukan samsak." Ara mengelus kakinya yang baru saja kena tendang.
Gila, tendangannya bukan kaleng-kaleng sakitnya.
"Bersyukur lo cuma gue tendang. Gimana kalau gue sleding? Gue bikin kaki lo di kepala, kepala lo di kaki. Mau?" Rea menunjukkan kepalan tangannya sambil memasang kuda-kuda. Mumpung dia sudah lama tidak menghajar orang, Rea dengan senang hati menguji coba kekuatannya pada Ara. Takut-takut ilmu Jujitsu yang dia pelajari selama ini lenyap.
"Mulut lo, Re, licin banget kayak belut," cibir Ara. Gadis itu langsung merapikan rambutnya yang berantakan tersapu angin sore.
Keduanya kini ada di rooftop sebuah kafe yang memang menjadi tempat biasa mereka nongkrong. Selepas menjemput Rea di Ormawa, Ara langsung menyeretnya ke kafe, meminta gadis itu untuk menemaninya menyesap kopi susu robusta favoritnya. Sekadar info, kopi yang dijual di sini benar-benar nikmat. Aroma, rasa, serta penyajiannya juara. Bahan dasarnya pun sengaja di import dari luar negeri. Tentu, mereka juga punya kopi khas Indonesia.
"Jadi, tadi Arsan ngomong apa sama lo? Penting banget, ya, sampai lo nggak absen?" Ara mengulang pertanyaannya setelah mereka berdua hanya berdiam diri.
"Ya Allah, gue lupa absen! Mampus gue." Rea menepuk keningnya. Bodoh sekali dia sampai lupa bahwa mata kuliahnya yang terakhir selalu absensi di akhir pelajaran.
"Udah gue urus tadi. Gue sampai minta maaf ke Bu Narni, bilang kalau lo ada urusan sama kadep. Baik banget, kan?"
Rea langsung tersenyum sumringah, gadis itu lantas mencubit gemas pipi Ara. "Unch, makasih, Anak Anoa. Jadi makin cinta sama kamu."
"Jijik!" ketus Ara. Gadis itu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Heh, lo belum jawab pertanyaan gue."
"Oh, masih inget? Kirain udah lupa," ejek Rea. Ara memang paling mudah dialihkan.
"Ngajak berantem, Sist?" Kata-kata Ara terdengar menusuk. Rea kemudian meringis, sadar bahwa dia tidak akan lari. Ara tidak akan melepaskannya.
"Gue sempat ditawarin ikut lomba yang ditempel di mading. Sepekan Arsitektur 2019. Dan tadi gue udah mutusin bakal nolak. Menurut lo gimana?"
"Ya ... nggak gimana-gimana. Kalau menurut gue, lo harus ambil kesempatan itu. Soal benefit nggak perlu gue jabarin, kan? Tapi, semua balik lagi ke lo. Yang mau lomba kan lo, Re."
"Gue lagi jenuh, Ra. Tugas makin banyak, kegiatan BEM gue makin padat, belum lagi kerjaan gue di penerbit, terus—"
"Mantan lo yang balik lagi. Itu, kan?" sela Ara cepat. Tampaknya dia paham hal terbesar yang paling berpengaruh bagi Rea.
Rea diam saja. Mulutnya sempat terbuka sedikit, seakan ingin membantah, tapi tertutup lagi. Mengelak pun percuma. Rea tidak bisa benar-benar berbohong. Ara menghela napas pelan.
Memang dia sendiri terkejut dengan kembalinya Kavi ke hidup Rea. Dia juga cukup kesal pada laki-laki itu. Setahun tanpa kabar, lalu kembali membawa gandengan baru, di tambah seseorang yang dia tinggalkan dulu masih menyimpan cinta yang cukup besar untuknya. Jika sudah begitu, siapa yang tidak sakit? Sahabat mana yang tega melihat sahabatnya yang lain menderita? Yang jelas orang itu bukan Ara.
"Gini, ya, Edrea Lovata, yang ngakunya IPK cumlaude, gue nggak ada hak buat nyuruh lo lupain Kavi, gue pun nggak bisa ngontrol perasaan lo harus suka sama siapa, tapi cinta bukan tentang perasaan doang. Logika lo juga harus main. Lo tahu lah apa yang harus lo lakuin, nggak perlu minta pendapat gue, karena lo tahu apa yang gue mau. Lanjutin hidup lo."
"Cinta itu menguatkan, bukan melemahkan. Orang bakal gila kalau cuma nurutin cinta tanpa dipakai otaknya. Dan lo ... lagi ada di fase itu. Satu hal, cinta nggak salah, yang salah itu manusianya."
Rea tampak termenung, Ara memang benar. Tidak ada yang salah dengan cinta, hanya orangnya saja yang tidak bisa memilah mana cinta yang layak untuk diperjuangkan, mana yang tidak.
Raut wajah Rea berubah. Ditepuknya kedua pipi Rea beberapa kali, mencoba menyadarkan diri bahwa cinta itu indah.