Bagaimana ini, aku harus mengikuti ujian di semester lima, tapi sampai sekarang belum juga melunasi biayanya. Uang yang tersimpan masih jauh dari cukup, jika meminta pada ibu, itu tidak mungkin. Akhir-akhir ini beliau sering ngeluh pusing, penyakitnya kambuh, jadinya jarang pergi jualan.
Kaki terasa dikerubungi semut akibat jalan lebih dari lima kilometer, tak ada ongkos untuk naik kendaraan umum, dan tumben sekali tidak ada kendaraan untuk dimintai tumpangan. Lelah ini, tiada bandingnya dengan ibu yang telah berjuang.
"El, ibumu, El," seru Mpok Dian berlari mendekat.
"Kenapa, Mpok?"
"Ibumu tadi pingsan di jalan, sekarang sih, udah sadar. Buruan pulang, gih."
Walau sempat khawatir, setidaknya ibu tidak apa-apa. Mpok Dian, seneng banget bikin aku jantungan. Ga tahu apa, kaki rasanya udah jempor, dikasih informasi mendadak gitu, untung aja ga tersungkur.
Bergegas menuju rumah, masih ada dua tetangga yang menjaga. Mbak Sri dan Bi Susi. Hanya mereka yang masih punya rasa iba terhadap sesama, bersyukurlah intinya. Mungkin, jika tidak ada mereka, ibu bisa lebih parah.
"Mbak, bagaimana kedaan ibu?" tanyaku dengan mengatur napas kembali.
"Itu, masih sedikit lemah."
Segera masuk ke kamarnya. Beliau tertidur, nampaknya merasa lemas, tubuhnya terlihat pucat. Kenapa, ya?
Tertunduk di samping ibu, mencium punggung tangan, lantas mengecup dahinya. Terasa panas, tapi juga berkeringat. Tubuhnya terlihat gemetar, mungkinkah ibu lapar? Memang sejak pagi, kami belum makan sesuap nasi.
"Maafkan Elria, Bu. Karena membayar uang kuliah, Ibu harus bekerja keras, tak menghiraukan keadaan yang lagi sakit," rintihku, lantas memeluknya.
"El."
"Iya, Bu," jawabku sembari menyeka bekas air mata.
"Jangan sedih, gitu. Ibu ga apa-apa, ko," tuturnya mencoba menenangkan.
Aku hanya mampu menghela napas, melihatnya sekilas, tak sanggup melihat wajah lemas. Harusnya, aku sebagai anak yang bekerja keras. Sudah saatnya, ibu itu beristirahat di rumah, bukan malah keliling di bawah teriknya surya.
Mungkin benar, kata ibu guru sekolah dasar dulu. Bahwa mimpiku terlalu tinggi, padahal tahu kalau ekonomi tak mumpuni. Ternyata diriku sangat egois.
"Elria."
Aku menoleh pada sumber suara. Bi Susi datang dengan membawa sepiring nasi.
"Sepertinya, Mbakyu belum makan, ya?" tanya bibi.
Ibu hanya tersenyum, kemudian mengangguk pelan.
"Ini, saya bawain nasi, tapi cuma sepiring. Karena, lagi fase hemat juga."