Hujan di pagi hari tidak menyurutkan Leta bangun pagi. Dia turun dari ranjang tidur dan melihat Lova yang masih pulas tertidur. Suara napasnya terdengar tipis. Sesekali mengigau dan mengucapkan gumamam yang tidak jelas.
Terselip pikiran jahil Leta untuk menggoda Lova dengan udara pagi. Sebuah pagi tanpa matahari. Disibaknya tirai pintu yang mengarah ke balkon asrama. Leta membuka lebar pintu itu. Mengambil napas dalam dan menengadahkan tangan di bawah rintik hujan. Langit masih gelap.
“Ta, tutup pintunya…. Dingin,” seru Lova sambil menarik selimut tebalnya menutupi kepala.
Leta tidak menuruti permintaan Lova. Dia malah asik bermain dengan tetesan hujan. Kulit Leta mungkin benar setebal bulu beruang yang bisa menahan dingin. Kalau pun ditaruh di bumi yang bersalju pasti Leta bisa bertahan hidup. Padahal tubuhnya kecil. Angka lima puluh kilo saja tidak sampai. Dengan tinggi seratus enam puluh tiga sentimeter. Bisa dikatakan tubuhnya ideal. Malahan mungkin kekurusan.
Lova akhirnya bangun karena tidak tahan. Dia berjalan dengan selimut tebal yang masih membungkus badannya.
“Leta, aku kunci pintunya,” ucap Lova sambil memegang kunci kamar. Kemudian meletakkan kuncinya di atas meja belajar dan dia tertidur lagi.
Tindakan Lova membuat Leta sepagi itu berdiri di balkon. Sampai langit berubah warna menjadi lebih terang. Awan gelap mulai menyingkir. Dan sisa-sisa hujan di dedaunan terlihat seperti embun pagi yang kadang tertiup angin dan melemparkan tetesan air segar.
Kulit Leta yang sering dianggap setebal bulu beruang pun tetap saja itu kulit manusia. Berjam-jam diterpa angin dingin, kulitnya pun membeku. Apalagi baju tidur yang dia pakai berbahan tipis khusus di iklim tropis.
Leta bersandar di pintu. Pasrah sampai teman sekamarnya membuka pintu untuknya.
Saat Lova membuka pintu, tubuh Leta yang bersandar terjatuh kaku.
“Ta, kamu nggak mati, kan? Bukannya kamu beruang yang sudah biasa hibernasi di salju?” ucap Lova cemas.
“Beruang? Tetap saja aku ini manusia, Lova. Kalau aku mati kedinginan. Aku hantui kamu seumur hidup,” seru Lova sambil menggigil.
“Sory, tadi aku niatnya becanda, tapi ketiduran,” ucap Lova sambil menangkupkan telapak tangannya, meminta maaf.
“Hari ini kamu ada acara?” tanya Leta.
“Ya, aku ikut mendaki gunung dengan para klub pecinta alam. Ahh, aku lupa belum menyiapkan barang-barang yang kubawa,” seru Lova panik sambil melihat barang-barangnya yang masih berserak belum dipacking.
“Berangkat jam berapa?”
“Katanya disuruh kumpul jam sepeluh siang di sekre,” jawab Lova.
“Bisa nggak, kamu nggak ikutan mendaki. Cuaca beberapa hari ini tuh sering hujan. Gimana kalau pas kamu naik ke atas terus hujan deras? Lagipula, kenapa sih kamu tiba-tiba gabung klub pecinta alam. Bukan kamu banget deh. Seorang Lova tuh harusnya duduk di belakang meja mendesain baju-baju yang tidak ada duanya. Kita pergi nonton aja ya. Hari libur masa aku sendirian?” bujuk Leta.
“Hari libur makanya harus berkelana dan bertualang. Kamu gabung klub apa gitu. Biar nggak jadi mahasiswa ansos banget, gitu. Daripada belajar, kemudian belajar lagi, belajar, dan terus belajar. Nggak indah banget sih hidup mahasiswa berprestasi di kampus ini,” sindir Lova.