Leta berdiri di satu halaman luas. Ayunan yang ada di dekatnya bergoyang sendiri dan mengeluarkan suara decitan kecil. Leta menutup matanya. Suara-suara aneh mulai berdengung. Ada suara tik tak jarum jam yang tiba-tiba muncul. Dan seseorang dari jauh seperti memanggil namanya. Suara Lova…
“Leta… Leta… Ta… Leta…”
Leta membuka mata terbangun dari mimpi yang panjang. Di hadapannya ada wajah yang familiar menatapnya. Bola mata besar dengan iris berwarna kecoklatan. Poni yang menutupi dahi dan tahi lalat di bawah mata kiri. Tidak salah lagi.
“Lova!” seru Leta dibarengi pelukan spontan.
“Kamu masih hidup? Aku tahu kamu tidak mungkin meninggal begitu saja. Rasanya itu terdengar omong kosong,” ucap Leta merasa lega.
“Meninggal? Apa maksudmu?” tanya Lova penasaran.
Lova tertawa mendengar penjelasan mimpi Leta tentang kematian.
“Berarti saat aku mau pergi mendaki gunung. Terus berubah pikiran dan malahan pulang ke rumah. Namun, aku malah kecelakaan? Kejam sekali mimpimu,” komentar Lova
Leta mengamati Lova.
“Kamu tampak rapi?” tanya Leta.
“Tentu saja. Ini sudah jam delapan pagi. Makanya habis subuh jangan tidur lagi. Mimpi buruk, kan?” tegur Lova.
“Kamu mau pergi?” tanya Leta lagi, melihat tas ransel Lova sudah ada di punggungnya.
“Aku mau pergi mendaki Semeru,” jawab Lova datar.
“Jangan!” seru Leta.
Lova menggeleng.
“Bercanda. Siapa juga yang saat musim hujan naik gunung. Buruan mandi, gih! Biar kesadaranmu kembali. Aku cuma pergi kuliah kok. Hari Senin biasa jadwal kuliahku padat. Jadi aku bawa ransel yang berisi bekal makanan yang banyak,” jelas Lova.
“Hari senin?” Leta terlihat bingung.
“Tuh, kan. Makanya banyak yang bilang tidak boleh tidur lagi sehabis subuh. Jadi linglung, kan. Kamu belum gila, kan, Ta?” ucap Lova.
Leta melempar bantalnya ke tubuh Lova.
Kemudian, Ada sesuatu yang mengganjal mata Leta membuat pandangannya kabur. Dia mengedipkan matanya agar debu atau apalah itu bisa hilang. Leta mengusap air yang membasahi sudut matanya. Matanya berkedip berulang kali sampai benar-benar kembali penglihatannya. Setelah pandangannya pulih, sudut matanya masih berair.
“Apa aku menangis?” batin Leta berujar.
Leta menyadari masih merasakan rasa sakit kehilangan Lova.
“Lov, kita ke kampus bareng saja. Lov…,” ucap Leta kemudian.
“Lov…”
Tidak ada yang menyahut.
“Kemana Lova pergi? Rasanya tidak ada suara pintu yang terbuka sebelumnya. Tidak mungkin juga Lova pergi tanpa pamit. Apa aku masih bermimpi?" ucap Leta kebingungan.
***
Napas Leta tercekat. Keringat dingin mengucur di dahi dan seluruh tubuhnya. Mata Leta masih terpejam berusaha untuk bangun, tetapi ada sesuatu yang menahannya. Dia tidak bisa mengendalikan tubuhnya dalam kondisi tidak sadar.