‘Dan, ya. Untuk para pecinta The Beatles, semoga ‘Hey Jude’ bisa menghangatkan pagi kalian semua hari ini...’
Ananda Irene Farasya mengeratkan jaket yang dikenakannya, berjalan membelah kepadatan Kota Bandung untuk menuju ke sekolah. Di telinganya terpasang headset yang memperdengarkan lagu lama milik The Beatles dari salah satu stasiun radio ternama yang ada di kota itu. Tanpa sekali pun mempedulikan apa yang ada disekitarnya, Irene terus berjalan.
Kejadiannya begitu cepat, saat Irene merasakan tangannya ditarik kencang ke pinggir jalan, sebelum seorang pengendara motor melaju kencang melewatinya.
“Woy, hati-hati lo kalau naik motor!” Seseorang berteriak di sampingnya.
Irene sama sekali tidak mendengar suara motor yang melaju ke arahnya. Ia cepat-cepat menarik tangannya dari orang itu, dan dengan perlahan melepaskan satu sisi headset-nya.
“Eh, lo nggak papa, kan?” Seseorang itu terdengar begitu khawatir saat berbicara. “Nggak ada yang luka?” tanyanya berturut-turut.
Irene hanya menggelengkan kepalanya sekilas, tanpa bicara apa pun. Setelahnya, ia berjalan melewati orang itu begitu saja.
“Ehhh eh, lo mau ke mana? Woy!”
Ia mendengar orang itu berteriak bingung di belakangnya. Namun, Irene memilih untuk mengabaikannya seraya menjauh, sampai suara itu tidak lagi terdengar.
Saat sampai di depan gerbang sekolah, Irene kembali memasang headset ke telinganya. Kota Bandung pagi ini terlalu dingin untuk ditambah dengan gunjingan yang terang-terangan dilayangkan para siswa di sekolah ini padanya.
‘Cewek Arogan!’
‘Sombong!’
‘Angkuh!’
Tidak hanya sekali atau dua kali Irene mendengarnya, tapi ia belum juga terbiasa. Irene mengangkat dagunya ke atas, berusaha tampak berani sekaligus tidak peduli dengan beberapa pasang mata yang menatapnya di sepanjang lorong.
Irene berjalan menuju ke meja yang berada di paling belakang. Kemudian, ia melakukan rutinitas yang beberapa bulan terakhir ini menjadi kebiasaannya. Menghempaskan tubuhnya ke atas kursi, menyandarkan tubuhnya ke meja, menutup mata, dan menunggu pelajaran dimulai.
Sebuah lagu lain masih mengalun lembut dari balik headset-nya. Irene percaya, jika ada hal magis yang berhubungan dengan musik, karena seburuk apa pun keadaannya, ia selalu merasa jauh lebih baik saat mendengarkan musik.
Beberapa menit berlalu saat Irene merasakan mejanya didorong oleh seseorang. Ia membuka mata lalu menegakkan tubuhnya sambil melirik malas pada teman sekelasnya.
“Lo dicari Bu Maya di kantor.” Entah bagaimana Irene bisa mendengar nada sinis dalam suara perempuan itu. Namun, apa lagi yang bisa ia lakukan selain tidak peduli?
Irene bangkit, sekilas melirik sinis Della yang masih berdiri sambil menyilangkan tangannya di depan dada, sebelum akhirnya beranjak pergi.
***
“Andra, kamu bisa taruh pekerjaan rumah kamu di atas meja itu.”
Irene samar-samar mendengar suara lembut Bu Maya dari dalam kantor. Setelah mengambil napas panjang, Irene mendorong pintu agar terbuka dan langsung menemukan wali kelasnya itu tengah duduk di balik meja.
Bu Maya menoleh pada Irene lalu tersenyum. “Selamat pagi Irene,” sapanya lembut. Irene membungkuk kecil sebelum melangkah menuju Bu Maya. “Bagaimana kabar kamu akhir-akhir ini?”
“Saya baik, Bu.”
Bu Maya mengangguk simpul sambil membuka berkas yang ada di atas meja. “Hmmm, tapi sepertinya kamu sedang tidak baik-baik saja.”
Irene mengangkat kepalanya, menatap Bu Maya penuh makna.
“Kamu tahu kan, kalau kamu sebentar lagi naik ke kelas tiga?” Bu Maya mengangkat kepalanya untuk melihat Irene. “Jadi kenapa nilai-nilai kamu malah semakin menurun? Tahun lalu kamu bahkan menjadi juara umum di sekolah ini, tapi sekarang, peringkat kamu bahkan tidak sampai sepuluh besar di kelas.”
Irene menghembuskan napas lelah. Hal ini karena ia berada di kelas unggulan, yang mana jika siswa di kelas itu turun satu peringkat saja, pasti akan menjadi berita utama satu sekolah. Atau paling tidak menjadi bahan gosip para guru.
“Maaf, Bu.” Irene menundukkan kepala.
“Apa ada yang mengganggu pikiran kamu?” tanya Bu Maya. “Kamu bisa ceritakan semuanya sama Ibu, Irene.”
Irene menggelengkan kepalanya, membuat Bu Maya mendesah pasrah.
“Ibu, saya pamit ke kelas.” Satu orang lain yang berada di ruangan itu membuka suara, mengalihkan sejenak perhatian Bu Maya.