Siang yang terik dengan panas yang perlahan menggerogoti membuat pikirannya tertuju pada persoalan itu. Ketika pulang sekolah, wajahnya sudah pucat pasi. Selebihnya, tidak.
“Neng Dianra ... sudah pulang?” sapa seseorang dari arah kebun halaman rumahnya. Dianra menoleh dengan cepat, mendapati Bi Ipah menghampiri seraya menggenggam sapu yang ujung-ujungnya penuh dedaunan kering. “Neng, makan siang dulu, ya!”
Dianra mengangguk pelan dan lekas melangkahkan kaki memasuki rumah. Rumah bertingkat dua dengan halaman berkebun yang luas ini menjadi tempat tinggalnya. Apalagi, warna abu-abu favoritnya menghiasi hampir seluruh dinding rumah. Dianra mengempaskan tasnya ke atas tempat tidur, merebahkan tubuhnya pula di sana. Dia menatap dinding dalam keheningan. Ini kali ketiga dia dimarahi Pak Rusdi untuk masalah yang sama.
Bukan hanya Pak Rusdi yang geleng-geleng kepala melihat prestasi Dianra dalam bidang akademik. Guru-guru lain juga sama. Dianra memejamkan matanya perlahan, mengingat kejadian dua tahun lalu saat dia memilih SMA tersebut sebagai naungannya untuk menimba ilmu.
***
25 Juni 2008 ....
Nilai Ujian Nasional Dianra sangat pas-pasan. Padahal, siang sampai tengah malam selalu dia isi dengan materi-materi UN dan berlatih macam-macam soal. Namun, selalu saja nilai Try Out-nya tidak memenuhi target.
“Aku takut, Sar. Takut enggak lulus UN ... terus enggak diterima di neg—“
Sarah menoleh ke arah Dianra dan seketika memotong. “Kamu ngomong apa, sih, Dian? Aku enggak suka kalau kamu ngomong kayak begitu. Enggak ada yang mustahil. Biar orang berkata apa kepadamu, berkata kamu lemah dalam pelajaran ini atau itu, Si Dian enggak bakal masuk SMA Negeri, lah, apalah, itulah, tutup telingamu, Dian! Jangan dengar apa kata mereka!” Mata Sarah membulat, menatap Dianra tajam. Dianra menundukkan kepalanya. Dia merasa bersalah telah berpikiran seperti itu.
Sarah merupakan sahabat satu-satunya Dianra saat SMP. Mereka bukan sahabat yang selalu bercerita satu sama lain, tetapi lebih sering termenung dalam pikiran masing-masing. Dianra mengenal Sarah karena Sarah selalu menyendiri. Jika temantemannya yang lain melangkah ke kantin saat jam istirahat, Sarah duduk diam di mejanya sambil membaca novel. Sarah selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Itulah yang membuat Dianra penasaran untuk mengenal Sarah lebih jauh.
Pembicaraan mereka pertama kali dimulai saat hujan turun. Mata Dianra membulat saat tetesan hujan pertama membasahi lapangan bola sekolahnya. Saat itu, seluruh teman sekelasnya sedang mendengar penjelasan Pak Yoni, guru Olahraga SMP Cakrawala. Hujan turun tiba-tiba, tetes demi tetesnya membasahi kaus olahraga anak-anak kelas 8-C. Semua anak berhamburan meninggalkan lapangan bola yang mulai basah. Kecuali, Dianra. Dia mendekat menuju lapangan bola sambil meluruskan tangannya ke depan, merasakan air hujan yang menetesi telapak tangannya. Teman-temannya di belakang, sibuk mengutuk hujan dan memutuskan untuk bermigrasi ke kantin, apalagi Pak Yoni membatalkan pelajaran Olahraga hari ini.
Tidak peduli pada kesibukan di belakangnya, Dianra terus bermain-main di bawah hujan. Berdoa agar dirinya bisa menjadi orang pintar. Itu adalah doa ke-891.238 kali yang dia panjatkan, tetapi hasilnya selalu nihil. Cap bodoh tetap saja bertengger di dahinya. Apa karena nilai kecil seseorang bisa dikatakan bodoh?
“Kamu ngapain di situ?” tanya seseorang di belakang Dianra. Gadis itu menoleh, meski tangannya masih menari-nari dalam hujan.
“Aku sedang melihat dunia kelabu.”
Perempuan berkacamata dan kerudung putih itu manatap Dianra bingung. “Kelabu?” tanyanya. Dia mengarahkan pandangannya ke langit, yang kini ditutupi oleh awan kelabu dan hujan yang terus turun dengan deras.
“Aku senang memandang awan abu-abu yang berkumpul satu per satu menutupi langit, lalu menghadirkan percikan kilat yang menggelegar sebelum hujan benar-benar turun. Aku senang suasana ini. Aku senang hujan. Aku senang warna abuabu. Karena ....” Dianra menghentikan ucapannya. Pikirannya terhenti oleh sesuatu. “Nama kamu siapa?”
Perempuan itu terdiam. Dia yakin, Dianra tahu siapa namanya. Namun, dia tetap akan menjawabnya. “Sarah.” Sarah menjabat tangan Dianra yang basah. Dianra tersenyum menyambut perkenalan ini.
Walau mereka baru saja berkenalan, tetapi percakapan mereka semakin seru saat Dianra mengajari Sarah menikmati hujan. Di aula yang menghadap ke lapangan olahraga, terdapat selokan kecil yang kini dialiri air hujan. Kaki Dianra dan Sarah bermain-main di selokan itu, menjejak-jejak saat air semakin deras mengenai kaki mereka. Dingin.
Mereka berdua tertawa lepas merasakan air hujan membasahi seragam olahraga sekolah, membiarkan awan kelabu itu menjadi saksi bisu awal pertemanan Dianra dan Sarah. Kelabu itu selalu memberikan sesuatu yang tidak terduga untuk Dianra dan ini salah satu contohnya.
Saat hujan mulai reda, mereka berdua mulai menyadari bahwa kaus mereka terlalu basah, ditambah lagi teman-temannya sudah berlalu pergi. Dianra dan Sarah memang satu kelas, tetapi mereka belum pernah mengobrol akrab seperti sekarang. Tempat duduk mereka berjauhan. Dan, karena ... mereka memang senang menyendiri.