Hari Kamis datang lagi, dengan suasana yang tidak berubah. Matahari kian meninggi, menghapus embun yang menempel di dedaunan. Setelah menyuapi Ibu dan membantu menyiapkan pakaiannya, Dianra berangkat dengan berjalan kaki menuju sekolahnya.
Hari ini, ibunya akan kontrol ke rumah sakit bersama ayahnya. Dianra akan menyusul nanti setelah pulang sekolah. Kegiatan Dianra setelah pulang sekolah adalah menjaga Ibu bersama Bi Ipah. Setelah keputusan dokter lima bulan lalu, mereka semakin ketat merawat Ibu. Jujur saja, Ayah benci mendengar penjelasan dokter. Dia melupakannya dalam tempo yang sangat cepat. Ayah bahkan benci pada orang-orang yang seenaknya setuju bahwa umur istrinya tidak lama lagi.
Setelah dokter memvonis usia Ibu, Dianra dan ayahnya ke luar ruangan dengan tatapan kosong. Bahkan, Dianra enggan bertemu saudara-saudaranya. Yang dia inginkan hanya bertemu ibunya.
“Ayah ... aku ingin bertemu Ibu.” Dianra terisak lagi.
Ayah mengusap rambut Dianra, mengecupnya. “Ra ... ibumu pasti baik-baik saja. Semua perkataan dokter itu jangan didengarkan!”
Dianra menundukkan kepalanya. Air matanya sudah berkali-kali mengalir hingga matanya bengkak, tetapi semua tidak akan kembali seperti semula.
“Ibu sakit apa, Yah? Kenapa Dokter bilang seperti itu?”
Ayah terdiam. Selama bertahun-tahun istrinya sakit, dia tidak tahu bahwa penyakit itu berawal dari malpraktik.
“Kita harus menuntut rumah sakit itu, Yah! Karena merekalah Ibu seperti ini!” teriak Dianra.
Ayah menggelengkan kepala. “Ibu akan baik-baik saja, percayalah.”
Saat mereka berdua keluar dari ruangan, saudara-saudara Dianra menyambut dengan pelukan. Kesedihan yang tidak bisa dia bendung lagi akhirnya meluap saat Fiona memeluknya. Ruang tunggu ini menjadi kelabu seolah menyontek suasana kelabu di luar sana. Pertanda akan turun hujan. Ya ... warna abu-abu yang hadir melapisi awan-awan adalah sahabat karib Dianra. Buktinya, saat dia sedih, ia datang.
****
Kejadian beberapa bulan lalu kembali hadir dalam pikiran Dianra, membuat hari-harinya dipenuhi lamunan akan wajah ibunya. Ketika sekolah tinggal beberapa langkah lagi, tibatiba dari arah barat muncul sepeda yang melaju sangat cepat.
Dianra tidak menyadari kemunculan sepeda itu. Laki-laki sang pengendara berteriak meminta Dianra menyingkir, tetapi dia lupa nama Dianra. Dia hanya bisa berteriak-teriak. Sepedanya terus melaju dengan cepat. Remnya rusak!
Gawat!
Gawat!
Pak Satpam, yang mengetahui ada sepeda melaju cepat ke arah Dianra, langsung berteriak panik, berlari ke arah Dianra. Dianra bingung menatap Pak Satpam berteriak ke arahnya. Salah apa dia? Mengapa Pak Satpam berteriak-teriak? Jangan-jangan, Pak Rusdi meminta Pak Satpam untuk melarang Dianra masuk gara-gara kejadian kemarin.
Dianra menoleh ke sekelilingnya, lalu mendapati sepeda melaju cepat ke arahnya. Dianra panik, Pak Satpam panik, lakilaki pengendara itu panik, teman-teman di sekitarnya panik. Dianra tidak bisa menghindar lagi.
“AWAAASSS!!! MINGGIIIRRR ...!” teriak laki-laki itu. Jarak sepeda tinggal dua langkah. Bagaimana Dianra bisa menyingkir?! Semuanya begitu cepat. Yang bisa Dianra lakukan adalah menutup mata dan meloncat ke belakang.
BRUUUKKK!!!
Napas Dianra menderu, telapak tangannya berdarah karena terseret kena aspal. Tubuhnya terpental sejauh 5 meter dari sepeda yang kini menabrak pohon. Dianra tersungkur tidak berdaya, dengan tangan dan kaki yang lecet, begitu pula laki-laki yang membawa sepeda itu, pingsan di tempat. Dianra mengaduh kesakitan, beberapa temannya membantu Dianra berdiri.
“Kamu enggak apa-apa?” tanya perempuan berkerudung kepada Dianra. Teman-temannya membantu Dianra berdiri. Dianra menggelengkan kepala. Kalau dia tidak melompat menghindar, dia pasti sudah tertabrak sepeda itu. Tuhan masih menyelamatkan nyawanya.
Pagi yang cerah ini dihiasi kejadian mengenaskan. Murid lakilaki ditemukan menabrak pohon karena rem sepedanya rusak menjadi headline news di sekolah Dianra. Pagi itu, superramai dengan kabar tentang kejadian tabrakan sepeda. Laki-laki yang tidak dikenal Dianra itu akhirnya dibawa ke rumah sakit terdekat. Sepedanya rusak membentur pohon. Dianra yang mengalami luka enggan untuk dibawa ke rumah sakit, dia yakin dirinya baik-baik saja.
“Tapi, kamu berdarah begini,” ujar Linda, perempuan berkerudung itu. Saat dia dan salah satu temannya membawa Dianra ke UKS, mereka berdua berkenalan. Dianra senang sekali menyambutnya. Walau ngilu dan nyeri terasa berdenyut-denyut, tetapi senyum Dianra tidak penah terhapus saat menyambut seseorang berkenalan.
“Enggak apa-apa. Aku baik-baik saja. Aduh! Aduh!” Dianra berteriak sakit saat obat cair mengenai lukanya.
Linda ikut meringis, beberapa guru menghampiri Dianra. Bertanya kepada Dianra apa yang terjadi. Dengan mengaduh, Dianra menjelaskan apa yang terjadi. Pagi ini benar-benar mengerikan, disambut oleh sepeda yang rusak remnya dan hampir saja membuat Dianra tertabrak.
“Grey, kan, anaknya Pak Nino!” Wajah Bu Pipit langsung menegang mengetahui bahwa laki-laki yang hampir menabrak Dianra adalah anak dari pengusaha terkaya di kotanya. Dianra mengerutkan dahi. Dianra mengeluh dalam hati. Mengapa pula laki-laki anak pengusaha kaya itu yang lebih diperhatikan kondisinya, sedangkan dia diabaikan?
Setelah luka di kaki dan tangan selesai di perban, satu per satu guru-guru mulai meninggalkan UKS, menyisakan Linda dan temannya yang masih menunggu Dianra.