Satu tahun kemudian
Waktu berjalan seperti anak panah. Tak terasa, kami sudah satu tahun bersama. Aku sudah kebal dengan ke-blangsakannya Saka. Juga, betapa pemalunya Esa. Di mata mereka, aku seperti pengawas yang setiap saat mengingatkan aturan.
“Nyokap lo ngidam apa, sih? Kertas laminating, ya? Kok ada cowok sekaku lo!” protes Saka saat aku mengingatkan dia untuk lari pagi pukul 05.30 sesuai aturan.
Dia yang selalu begadang, paling sulit untuk dibangunkan. Alhasil selama setahun ini, dia memegang rekor terbanyak kategori terlambat ke sekolah diantara kami bertiga.
Kalau sudah begitu, aku hanya bisa mendengkus sebal. Bukankah kalau sudah masuk asrama itu harusnya taat aturan? Aku hanya ingin hidup tenang dan tanpa menabrak aturan. Tapi, bertemu dengan Saka, membuatku ingin menjitaknya.
“Sabar Nat, sabar …” sugestiku. Aku dan Esa saling berhadapan dan mengangguk, memberi kode satu sama lain.
Aku dan Esa mulai menghitung, “Satu … dua … tiga.” Aku menyingkap selimut Saka. Dibantu dengan Esa, kami bersamaan menarik tangannya agar dia terbangun. Dan kamu percaya? Ini adalah kegiatan yang mungkin bisa dikategorikan rutinitas setiap pagi sebelum lari.
“Ah Ribet banger lo berdua! Gue ngantuk!” Saka marah-marah sambil menguap dan menggaruk-garuk tengkuk leher. Belum terbangun sepenuhnya, meski sudah duduk
“Sa, dia masih belum bangun kayaknya.” Aku berkacak pinggang.
Esa menjentikkan jari, “Gampang. Siram aja.”
“Bacot lo berdua!” Dia berdecih.
Aku mengambil botol mineral yang ada di meja sebelahnya. Lalu, tanganku gesit mmebuka botol dan menyiramnya tanpa ampun.
“Aaaa!!! Sialan-! Gue basah. Dasar pengawas gadungan kw 10!” Seperkian detik, Saka marah dan beranjak dari tempat tidur.
Aku dan Esa yang merasakan ancaman langsung lari menuju keluar kamar. Akhir adegan tiap pagi adalah kami kejar-kejaran. Saka yang marah akan terus mengejar kami sampai dapat.
“JANGAN KABUR LO BERDUA!” Dia terus berlari. Kami justru tertawa cekikikan. Puas mengerjai dia, si tukang tidur.
“Jangan lari-lari di asrama!” Suara itu berhasil menyita perhatian kami berdua.
Pengawas sesungguhnya yangs edang patrol di lantai dua- tempat kamar kami. Berhasil memergoki kami berkejaran, bukan lari pagi di lapangan. Nah, itulah pagi kami yang berantakan.
Dia memang sering menyebutku pengawas gadungan dan selalu waspada kepadaku. Bahkan, karena terlalu takut dengan pengawas, aku yang masuk ke kamar selalu dicurigai oleh mereka.
Saka dan Esa merasa lega ketika tahu bahwa aku yang masuk kamar. Baru saja pintu selesai berdecit setelah kututup, Saka memintaku untuk bergabung dengannya.
“Shit! Gue kira tadi pengawas! Sini!” ujar Saka. Dia merubah posisinya yang semua duduk bersandarkan di bahu ranjang, menjadi menghadap ke Esa yang duduk di ranjang sebelah.
Melihat Saka yang antusias, sepertinya ada hal yang menarik. Dia memang sulit ditebak. Aku sudah hafal dengan perangainya yang membuat orang mengelus dada. Mungkin kalau bukan kami (Aku dan Esa) yang menjadi temannya, tak ada yang mau mendekat dengan Saka.
Aku melempar buku ke meja yang ada di sevelah ranjang Saka. Lantas, bergegas duduk di sebelah Saka.