Code Phoenix

Arslan Cealach
Chapter #2

Impossible Guess

Dullahan memang sudah terkenal sepenjuru kota. Untuk siswa SMA sok sibuk macam Sebastian. Info itu hal baru. Ia baru tahu negara tempatnya tinggal diserang teror Dullahan saat supir pribadinya memancingkan topik obrolan.

Benar-benar kudet.

Anehnya walau tak tertarik dengan berita. Dullahan yang meresahkan warga Indonesia tiba-tiba saja menarik perhatiannya. Sepanjang perjalanan ia terus memikirkannya. Ayahnya seorang pejabat sekaligus pengusaha. Ia dibesarkan dengan pengetahuan dunia berada di bawah telapak kakinya. Awalnya menyenangkan sebagai anak kecil. Berpikir seluruh dunia milik kita sendiri. Semakin dewasa itu membosankan. Karena semua mudah terpenuhi. Pandangan bahwa setiap orang yang tak sepadan adalah sampah mengungkung kebebasan berpikirnya.

Ia hidup dalam rasa bosan tak berujung. Kehidupan di rumah persis seperti di neraka. Walau ia belum pernah ke neraka. Paling tidak ia bisa membayangkan. Betapa kosong dan hampanya tempat peristirahatan bagi para pendosa.

×ÙÚØ

Mobilnya memasuki pekarangan SMA Quentin. Sekolah paling elit se-Indonesia. Tempat di mana anak-anak tajir satu negara berkumpul. Sekolah yang telah berdiri empat puluh lima tahun tersebut telah mencetak lulusan yang mengambil peran besar dalam putaran rotasi dunia.

Semua persis seperti visi dan misi awal berdirinya lembaga tersebut. Quentin. Berarti mendamba masa depan. Setiap lulusan sekolah ini memang dicanangkan sebagai warisan hidup bangsa.

Kehidupan di sekolah pada mulanya membosankan. Memang ia berhasil bertemu dengan anak-anak yang sepadan. Tapi, malah membuatnya muak terhadap diri sendiri.

Di tengah jalan menuju gedung sekolah terlihat tengah menunggu seorang cowok culun punya. Pemuda itu lengkap dengan rambut berponi yang dijepit miring dan kacamata semi-besar berwarna biru tua. Ialah satu-satunya orang yang bisa membuat Sebastian menikmati hidupnya. Sahabat terbaik yang rasanya memang dilahirkan untuk dirinya.

"Selamat pagi, Astin. Sudah lama?" tanya Sebastian.

"Belum kok. Baru satu jam," jawab Astin dengan wajah tak peduli.

Sebastian meringis kecil. Sikap Astin selalu bisa menyenangkan hatinya yang suntuk. Ia tak seperti anak biasa yang angkuh dan sok tinggi. Astin begitu sederhana dan ramah terhadap siapa pun. Bahkan terhadap orang yang tak dikenalinya.

Ia baik karena bisa memahami rasa sakit yang dirasakan orang lain. Hal itu membuat Sebastian tanpa sadar "tergila-gila" pada Astin.

Mungkin karena Astin orang miskin. Ia anak biasa yang bercita-cita menjadi ahli forensik. Keteguhan tekad membuatnya bersekolah di sekolah elit untuk kelancaran mimpinya.

"Sekolah mahal dan jauh nggak masalah. Asal bermutu," kenangnya.

Perjuangan itu menarik Sebastian untuk mengenal Astin lebih jauh.

Yang membuatnya tertarik pada Astin bukan hanya itu. Pertama yang membuat Sebastian mendekati Astin karena ia menggunakan eyepatch.

Saat masih hidup kedua orang tua Astin adalah manusia paling bejat diantara manusia bejat. Ayahnya pemabuk dan penjudi. Ibunya seorang wanita murahan yang menjajakan tubuhnya meski telah memiliki anak dan suami. Saat berusia lima tahun ayahnya mencongkel sebelah mata Astin. Walau terlihat masih ada yang Astin sembunyikan. Begitulah yang ia ceritakan

×ÙÚØ

Lihat selengkapnya