Daniel hidup dengan penuh kemewahan bersama neneknya yang sudah renta, Oma Rumi. Meski masih muda, Daniel telah diberi mandat besar oleh ayahnya untuk belajar mengurus perusahaan keluarga di Indonesia. Dengan bantuan asisten pribadinya, Raka, Daniel perlahan mendalami dunia bisnis yang kelak akan diwarisinya. Tanggung jawab ini membuatnya matang lebih cepat dibandingkan teman sebayanya.
Di SMA Bumi Cakrawala, Daniel tidak hanya dikenal karena nama keluarganya, tetapi juga karena kepribadiannya yang tegas dan karismatik. Ia menjabat sebagai Ketua Umum Majelis Perwakilan Kelas (MPK), sebuah posisi yang memberinya wewenang untuk mengawasi serta membantu kinerja OSIS dan berbagai organisasi serta ekstrakurikuler di sekolah.
"Bang, yang bener aja ini banyak banget berkasnya?" Daniel protes sambil menatap Raka, asisten pribadinya yang juga tangan kanan ayahnya.
Raka hanya tersenyum kecil. "Itu belum seberapa, Niel. Papamu sudah mengirimkan list materi lainnya yang lebih banyak."
Daniel menghela napas berat. "Yang bener aja? Ini aja udah kayak gunung kertas, Bang!"
Raka menepuk bahu Daniel dengan lembut. "Santai, Niel. Kamu kan calon pewaris perusahaan besar. Harus mulai terbiasa dari sekarang. Kalau nggak, gimana papamu bisa yakin sama kamu?"
"Ya, tapi kan... ada batasnya juga, Bang. Gue juga punya sekolah yang harus gue urus. Belum lagi tugas MPK yang nggak pernah habis."
"Makanya belajar multitasking," jawab Raka sambil tertawa kecil. "Lagipula, saya ada di sini buat bantuin kamu. Jangan terlalu dipikirin."
Daniel mendengus pelan, lalu mulai membuka salah satu berkas yang ada di hadapannya. Angka-angka, diagram, dan laporan terus memenuhi pikirannya hingga membuatnya merasa penat. Ia memutuskan untuk mengambil jeda sejenak.
Daniel berjalan menuju lemari buku besar di sudut ruangan papanya, tempat di mana berbagai buku bisnis, penelitian, dan jurnal pribadi tersimpan. Saat ia menarik sebuah buku tebal dengan sampul kulit, sebuah potongan kertas kuno jatuh ke lantai.
Potongan kertas itu terlihat usang, dengan tulisan tangan yang hampir pudar. Sebuah simbol berbentuk lingkaran dengan aksara-aksara aneh terukir di tengahnya, serta beberapa coretan peta yang tampak tidak lengkap.
Rasa penasaran Daniel membuncah. “Apa ini, kertasnya kayak udah lama," gumamnya sambil meneliti lebih dekat.
“Nanti aja lah,” gumamnya sambil melirik jam dinding. Sudah hampir pukul sebelas malam, dan ia tahu bahwa Oma Rumi pasti akan khawatir jika ia pulang terlalu larut.
Ketika Daniel tiba di rumah, suasana sudah sunyi. Rumah besar keluarga Nabastala itu hanya diterangi oleh lampu-lampu kecil di sudut-sudut ruangan. Oma Rumi rupanya masih terjaga, duduk di ruang tamu dengan sebuah buku di tangannya.
"Kamu pulang juga akhirnya," kata Oma Rumi sambil menutup bukunya. Meski wajahnya lembut, ada sedikit kekhawatiran di matanya.
“Maaf, Oma. Tadi banyak yang harus aku selesaikan,” kata Daniel sambil mencium tangan neneknya. “Aku nggak mau bikin Oma begadang nungguin aku.”
Oma Rumi tersenyum tipis. “Kamu memang seperti papamu. Selalu sibuk dengan hal-hal besar, sampai lupa untuk istirahat. Jangan terlalu memaksakan diri, ya.”
Daniel mengangguk. “Iya, Oma. Aku janji.”
***
Selasa pagi itu memang terasa sangat panas, membuat suasana sekolah sedikit lebih gerah dari biasanya. Daniel berjalan cepat di koridor sekolah, kemeja putihnya yang digulung hingga siku sudah mulai basah oleh keringat. Ia baru saja menerima panggilan mendadak dari kepala sekolah dan sedang menuju ke ruangannya dengan tergesa-gesa.
Bruk!
Daniel menghentikan langkah seketika, tatapannya jatuh pada gadis berambut pendek sebahu yang hampir saja terjatuh jika ia tak sigap menangkapnya. Tangannya secara refleks berada di pinggang, gadis itu, menahan agar tidak kehilangan keseimbangan.
Zunaira tampak terkejut, namun segera berdiri tegak dan melepaskan diri dari pegangan Daniel. “Gue nggak apa-apa,” katanya cepat, sambil merapikan tas seragamnya.
Daniel menatapnya sejenak, merasa sedikit bersalah. “Sorry, gue buru-buru,” katanya sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal. “Ada yang sakit?”
Zunaira memutar matanya, tapi ada senyum kecil yang tersungging di bibirnya. “Nggak. Gue baik-baik aja. Tapi, lo harus pelan-pelan biar nggak nabrak orang lagi.”
Daniel hanya mengangguk kecil sebelum melirik jam tangannya. Waktunya hampir habis, dan ia harus segera ke ruang kepala sekolah. “Gue pergi dulu, Ney. Hati-hati, ya.”
Tanpa menunggu jawaban Zunaira, Daniel segera melanjutkan langkahnya. Namun, baru beberapa meter berjalan, ia mendengar Zunaira berkata pelan, “Thanks, Daniel.”