"Neya, Zaya, kalian ingat ya, nanti malam ada acara di rumah Tante Mawar," ujar Rinjani sambil meletakkan sepiring telur dadar di atas meja. "Kita bakal ke Bandung lebih awal, langsung setelah Neya pulang sekolah. Tante Mawar butuh bantuan untuk beres-beres rumah sebelum keluarga yang lain datang."
Zunaira mengangguk sambil meneguk jusnya. "Iya, Bun. Tapi aku harus ganti baju dulu di rumah, kan? Kalau langsung berangkat dari sekolah pasti ribet bawa-bawa seragam."
"Tenang aja, Kak. Gue udah bantu siapin baju lo dan Ibun di mobil," sahut Zara dengan nada bangga, membuat Zunaira melirik adiknya dengan sedikit terkejut.
"Serius, Za? Kok rajin banget tiba-tiba?" Zunaira tersenyum kecil, mencubit pelan pipi adiknya.
Zara tertawa kecil. "Gue cuma males denger lo ngomel di mobil, udah."
Rinjani tersenyum melihat interaksi kedua putrinya, tetapi dengan cepat kembali serius. "Ayah kalian juga akan langsung ke Bandung dari kantor. Jadi, kita harus pastikan nggak ada yang tertinggal. Zaya, kamu juga bawa jaket ya, Bandung bisa dingin nanti malam."
"Siap, Bun!" jawab Zara dengan semangat.
***
Zunaira baru saja melangkah keluar dari mobil ketika matanya menangkap sosok Rea bersama dua dayangnya, Anggi dan Fika, berdiri di depan lorong menuju kelas 11. Dengan tangan bersilang di dada dan tatapan penuh superioritas, Rea tampak seperti ratu yang sedang mengatur wilayahnya.
Namun, baru beberapa langkah, Rea dan dua dayangnya bergerak mencegat. Mereka berdiri di depan Zunaira, memblokir jalannya dengan ekspresi mengejek.
"Masih pagi, caper banget lo!" ujar Rea, nada suaranya tinggi dan tajam.
Zunaira mengernyit bingung, menatap Rea dengan wajah datar. "Gue nggak ngapa-ngapain."
Rea mendengus, menatap Zunaira dari ujung kepala hingga kaki dengan pandangan merendahkan. "Lo kira, dengan penampilan cupu lo ini, Daniel bisa suka sama lo?"
Zunaira terdiam sejenak, mencoba memahami ke mana arah pembicaraan ini. Dia melirik dirinya sendiri—seragam rapi, rambut yang digerai sederhana, dan wajah tanpa riasan, semua biasa saja seperti hari-hari sebelumnya. Tidak ada yang berubah. Tapi jelas, ucapan Rea dipenuhi dengan maksud iri.
"Kak, lo ngelawak ya?" jawab Zunaira akhirnya, mencoba tetap tenang meski sedikit kesal. "Gue nggak tahu lo ngomongin apa, dan gue juga nggak peduli apa yang lo pikirin tentang gue. Kalau masalah Daniel, itu urusan lo, bukan gue."
Jawaban Zunaira membuat Rea semakin kesal. Anggi dan Fika di sampingnya terkekeh kecil, tapi tetap mengikuti lead Rea dengan tatapan sengit ke arah Zunaira.
"Jangan sok nggak peduli, Nai. Gue nggak terima ya soal kemarin. Jangan pikir lo bakal bisa nyerobot dia gitu aja!" suara Rea mulai meninggi, menarik perhatian beberapa siswa lain yang kebetulan lewat di lorong.
Zunaira menghela napas panjang. "Kak Rea, dengar ya. Gue nggak nyerobot apa-apa. Gue sama Daniel ketemu karena nggak sengaja, itu aja. Jadi, lo mau terus marah-marah, itu terserah lo."
Rea tampak semakin marah, tapi sebelum dia sempat membalas, bel sekolah berbunyi, menandakan waktu masuk kelas sudah dekat. Para siswa yang sempat memperhatikan insiden kecil itu mulai bergerak, meninggalkan lorong.
Zunaira memanfaatkan momen itu untuk melangkah maju melewati Rea dan gengnya. "Gue nggak ada waktu buat drama pagi-pagi. Kalau lo masih pengen ngomong, nanti aja, pas gue lagi nggak sibuk," katanya santai, meski dalam hatinya dia merasa lelah menghadapi sikap kekanak-kanakan Rea.
Rea hanya bisa menatap Zunaira dengan mata berkilat penuh emosi, sementara Anggi dan Fika mencoba menenangkannya. Tapi Zunaira tidak peduli. Dia berjalan menuju kelasnya dengan perasaan campur aduk, setengah kesal dan setengah lega karena berhasil mengendalikan situasi tanpa membesar-besarkannya. Namun, dia tahu betul, ini mungkin bukan akhir dari gangguan Rea.