Zunaira Kaia Harsa. Bagi banyak orang, dia hanya gadis pendiam yang melemahkan suasana—terlalu sunyi, terlalu tak terlihat. Tapi sebenarnya, jiwanya jauh lebih kuat dari yang pernah dibayangkan siapa pun. Ia berhati lembut dan penuh kebahagiaan, seperti arti namanya yang tenang dan mengalir. Zunaira menyukai perhitungan, karena baginya segala hal di dunia ini harus diperhitungkan dan dipertimbangkan dengan tepat. Ia tumbuh dengan keyakinan bahwa hidupnya hanya milik dirinya sendiri—ia tidak bergantung pada siapa pun, tidak pula berharap ada yang peduli.
Tapi semua itu perlahan berubah, ketika ia bertemu dengan orang-orang yang membuatnya sadar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan sendiri. Bahwa orang lain pun punya hak yang sama untuk berbagi rasa. Zunaira tidak pernah takut, selama ia punya dirinya sendiri. Ia belajar hidup tanpa banyak suara, tapi kadang ia lelah berbicara hanya dengan dirinya sendiri. Dan di situlah, kesepiannya perlahan tumbuh.
.
.
.
.
.
.
.
.
Saat maghrib tiba, setelah selesai melaksanakan sholat, Zunaira mengikuti ibunya menuju loteng atas rumah. Suasana di loteng itu sedikit lembab, dengan udara yang agak berat karena barang-barang lama yang tersimpan di sana. Namun, matanya tertarik pada tumpukan buku-buku lama yang terletak di atas meja ujung ruangan. Buku-buku itu tampak usang, dengan sampul yang sudah mulai pudar dimakan waktu.
Salah satu buku menarik perhatian Zunaira—sebuah jurnal yang tampaknya sudah sangat usang. Sampulnya hampir terlepas, dan sepertinya tidak ada yang menyentuh buku itu selama bertahun-tahun. Tanpa berpikir panjang, Zunaira membuka buku itu dan mulai menyusuri halaman demi halaman. Tiba-tiba, sebuah kertas tipis yang terlipat di dalam jurnal itu jatuh ke lantai.
Zunaira mengambil kertas itu, merasakan teksturnya yang kasar dan rapuh. Begitu dia membuka lipatannya, sebuah potongan peta aneh muncul di hadapannya.
Zunaira mengangkat pandangannya dari potongan peta yang masih berada di tangannya. Ia menatap ibunya yang sedang tersenyum hangat. “Ini buku apa, Bun?” tanyanya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.
Rinjani menoleh, dan senyumnya semakin melebar. "Itu jurnal milik kakekmu, kamu tahu? Kakekmu adalah ilmuwan yang sangat jenius," jawabnya dengan penuh kebanggaan. "Dia pewaris kepintaran yang kamu miliki sekarang."
Zunaira terdiam sesaat. Jelas terlihat dari ekspresi ibunya bahwa ini adalah topik yang penuh rasa hormat dan kenangan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Zunaira. Sepertinya ibunya tidak menyadari potongan peta yang ia temukan di dalam jurnal itu. Zunaira menyimpan potongan peta itu di saku dress-nya.
Rinjani memandangnya lagi, dan dengan lembut berkata, "Ayo, kita turun. Om sama tante kamu kayanya mau datang. Kamu pasti lapar, kan?"
Zunaira mengangguk, meletakkan kembali potongan peta itu ke dalam jurnal, dan dengan perlahan mengikuti ibunya turun dari loteng.
***
Acara pertemuan keluarga itu berlangsung dengan sangat hangat. Suasana riuh penuh canda tawa, diwarnai dengan obrolan ringan antara anggota keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Zunaira melihat ke sekeliling, mendengar obrolan seru antara ibunya, Tante Mawar, dan beberapa saudara lainnya. Zara terlihat sibuk berbincang dengan Zaki dan Zidan, sementara Raden dan Rasyid juga mengobrol hangat dengan para bapak yang lain. Semua terlihat bahagia.
Namun, meskipun suasana ramai dan penuh kehangatan, Zunaira merasa pikirannya terpecah. Sesekali ia menyeringai, tetapi ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.