Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #3

Zunaira Kaia Harsa

Saat maghrib tiba, setelah selesai melaksanakan sholat, Zunaira mengikuti ibunya menuju loteng atas rumah. Suasana di loteng itu sedikit lembab, dengan udara yang agak berat karena barang-barang lama yang tersimpan di sana. Namun, matanya tertarik pada tumpukan buku-buku lama yang terletak di atas meja ujung ruangan. Buku-buku itu tampak usang, dengan sampul yang sudah mulai pudar dimakan waktu.

Salah satu buku menarik perhatian Zunaira—sebuah jurnal yang tampaknya sudah sangat usang. Sampulnya hampir terlepas, dan sepertinya tidak ada yang menyentuh buku itu selama bertahun-tahun. Tanpa berpikir panjang, Zunaira membuka buku itu dan mulai menyusuri halaman demi halaman. Tiba-tiba, sebuah kertas tipis yang terlipat di dalam jurnal itu jatuh ke lantai.

Zunaira mengambil kertas itu, merasakan teksturnya yang kasar dan rapuh. Begitu dia membuka lipatannya, sebuah potongan peta aneh muncul di hadapannya.

Zunaira mengangkat pandangannya dari potongan peta yang masih berada di tangannya. Ia menatap ibunya yang sedang tersenyum hangat. “Ini buku apa, Bun?” tanyanya, mencoba mencari penjelasan lebih lanjut.

Rinjani menoleh, dan senyumnya semakin melebar. "Itu jurnal milik kakekmu, kamu tahu? Kakekmu adalah ilmuwan yang sangat jenius," jawabnya dengan penuh kebanggaan. "Dia pewaris kepintaran yang kamu miliki sekarang."

Zunaira terdiam sesaat. Jelas terlihat dari ekspresi ibunya bahwa ini adalah topik yang penuh rasa hormat dan kenangan. Namun, ada sesuatu yang mengganjal di hati Zunaira. Sepertinya ibunya tidak menyadari potongan peta yang ia temukan di dalam jurnal itu. Zunaira menyimpan potongan peta itu di saku dress-nya.

Rinjani memandangnya lagi, dan dengan lembut berkata, "Ayo, kita turun. Keluarga lain akan segera datang. Kamu pasti lapar, kan?"

Zunaira mengangguk, meletakkan kembali potongan peta itu ke dalam jurnal, dan dengan perlahan mengikuti ibunya turun dari loteng.

***

Acara pertemuan keluarga itu berlangsung dengan sangat hangat. Suasana riuh penuh canda tawa, diwarnai dengan obrolan ringan antara anggota keluarga yang sudah lama tidak bertemu. Zunaira melihat ke sekeliling, mendengar obrolan seru antara ibunya, Tante Mawar, dan beberapa saudara lainnya. Zara terlihat sibuk berbincang dengan Zaki dan Zidan, sementara Raden dan Rasyid juga mengobrol hangat dengan para bapak yang lain. Semua terlihat bahagia.

Namun, meskipun suasana ramai dan penuh kehangatan, Zunaira merasa pikirannya terpecah. Sesekali ia menyeringai, tetapi ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.

Saat Zunaira sedang menuangkan minuman ke gelas, tangannya sedikit gemetar. Konsentrasinya terganggu, dan tiba-tiba saja, dia hampir menjatuhkan gelas itu. Beruntung, Zidan yang duduk tidak jauh darinya dengan sigap mengambil alih gelas itu sebelum semuanya tumpah.

"Lo nggak papa, Ney?" tanya Zidan dengan wajah penuh perhatian, sambil memegang gelas yang hampir terjatuh. Matanya menatap Zunaira dengan cemas, seolah merasakan ketegangan di dirinya.

Zunaira tersadar dari lamunannya dan tersenyum, mencoba menenangkan dirinya. "Iya, Kak. Maaf, cuma... agak capek aja," jawabnya pelan, meskipun di dalam hatinya ada kekacauan yang masih belum bisa ia atasi.

Zidan mengangguk, tidak terlalu meyakini jawabannya, namun dia tidak memaksa. "Lo pasti banyak pikiran, ya? Kalau butuh apa-apa, gue di sini kok," ucapnya dengan nada yang penuh perhatian.

Zunaira tersenyum lagi, kali ini sedikit lebih tulus. “Makasih, Kak. Gue nggak papa kok.”

***

Malam itu, setelah pulang ke Jakarta dan istirahat sejenak, Zunaira tidak bisa menenangkan pikirannya. Meskipun seharusnya dia juga merasa lelah setelah perjalanan jauh, pikirannya masih tertambat pada potongan peta yang ia temukan di loteng tadi malam. Sesuatu tentang itu terus mengusik. Ia merasa harus mencari tahu lebih banyak.

Lihat selengkapnya