Setelah selesai sholat, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Mobil bergerak menuju dataran tinggi yang lebih sepi dan jauh dari keramaian. Sesampainya di kafe yang Angga tuju, kafe kecil yang terletak di puncak bukit, mereka duduk di tempat yang cukup terlindung. Angga memakaikan jaket miliknya ke tubuh Tabitha yang terlihat sedikit kedinginan. "Nggak papa, tempatnya aman kok. Nggak ada orang yang kenal sama lo," kata Angga dengan lembut, memastikan Tabitha merasa nyaman.
Tabitha tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. "Makasih ya, Angga," ucapnya pelan, sambil menatap pemandangan malam yang indah dari kafe tersebut.
Angga duduk di hadapannya, memperhatikan dengan seksama. "Ta, kalau lo butuh ngomong, gue di sini, kok. Nggak usah ragu buat cerita. Gue ngerti kok, kalau lo lagi butuh waktu dan tempat untuk refleksi."
Tabitha memandang Angga, sedikit tersenyum, namun matanya masih terlihat kosong. "Gue cuma... nggak tahu harus gimana, Ngga. Semua ini nggak gampang. Ada banyak hal yang harus gue hadapi, dan kadang gue merasa kayak nggak bisa memenuhi ekspektasi orang tua gue," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Angga mengangguk dengan penuh pengertian. "Ta, lo nggak sendirian. Kadang emang nggak gampang buat menghadapi ekspektasi orang lain, terutama yang orang tua kita harapkan. Tapi itu bukan beban yang harus lo bawa sendirian. Kalau lo mau cerita, gue denger kok."
Tabitha menunduk sejenak, kemudian menarik napas panjang. "Gue takut, Angga. Takut nggak bisa jadi apa yang mereka mau. Mereka selalu punya harapan besar buat gue. Tapi kadang gue merasa capek, nggak tahu lagi harus bagaimana."
Angga diam sejenak, merasakan betapa berat beban yang dipikul oleh Tabitha. "Lo berhak merasa capek dan butuh waktu buat diri sendiri. Kadang kita nggak harus memenuhi harapan orang lain. Yang penting, lo tetap jadi diri lo sendiri, dan lo nggak harus sempurna."
Tabitha mengangkat wajahnya, menatap Angga dengan pandangan yang lebih lembut. "Makasih, Ngga. Gue nggak tahu gimana kalau tanpa lo hari ini."
Angga tersenyum, tidak ada yang perlu dijawab selain itu. Setelah pesanan mereka datang, Angga memandang Tabitha yang terlihat sedikit canggung. "Makan aja dulu, Ta, meski perut lo nggak terlalu lapar. Paling nggak, lo bisa sedikit ngerasain kenyamanan setelah seharian penuh," kata Angga sambil membuka ricebowl.
Tabitha hanya mengangguk, meski dia memang tidak terlalu lapar. Makanan di depannya terlihat menggiurkan, dan ia pun mulai makan dengan perlahan.
Saat Tabitha sedang fokus makan, tiba-tiba rambutnya yang panjang dan sedikit berantakan jatuh menutupi wajahnya. Tanpa banyak berpikir, Angga dengan cepat mengulurkan tangannya untuk menyisipkan rambut Tabitha ke belakang telinga, agar gadis itu bisa makan dengan lebih nyaman.
***
Sesampainya di rumah Tabitha, mereka menuju pintu masuk, suasana malam yang mulai sepi. Begitu pintu terbuka, mereka langsung disambut oleh sosok pria tinggi besar yang tampak tegas dan berwibawa—Edric Hisahito, ayah Tabitha. Angga tidak merasa gentar. Dengan sikap sopan namun tegas, dia melangkah maju dan menundukkan kepala sedikit, menghadap Edric.
"Maaf, Om," kata Angga dengan suara rendah tapi jelas. "Saya belum izin membawa anak Om pergi malam ini."
Tabitha yang berdiri di belakangnya mulai merasa gelisah. Angga adalah laki-laki pertama yang berani berbicara dengan orang tuanya, terutama ayahnya yang terkenal tegas dan tidak mudah tersenyum. Selama ini, hubungan Tabitha dengan ayahnya cenderung dingin dan penuh harapan yang tak pernah ia penuhi.
Namun, Edric hanya mengangguk pelan tanpa banyak bicara, seperti menilai tindakan Angga secara singkat. "Tidak masalah," jawab Edric dengan suara berat khas orang yang terbiasa berbicara dengan wibawa. "Terima kasih sudah mengantar Tabitha pulang dengan selamat."