Tabitha Keina Hisahito. Siapa sih yang tidak mengenal seorang Tabitha—si “queen of perfectionist” yang dielu-elukan banyak orang? Menjadi salah satu idola di sekolah justru menjadi beban terberat yang diam-diam dia pikul. Menjadi terlihat sempurna bukanlah keinginannya, tapi dunia menekannya untuk terlihat demikian. Tabitha yang sebenarnya bukanlah gadis yang baik-baik saja. Saat seisi rumahnya hanya menuntut pencapaian dan kesempurnaan, dunia di luar pun tak memberi ruang untuk bernapas.
Kadang, ia bertanya dalam hati: apakah dirinya hanya boneka dalam panggung keluarganya sendiri? Bahkan sampai sekarang, Tabitha tidak benar-benar tahu apa yang dia inginkan. Karena selama ini, hidupnya hanya sebatas memenuhi ekspektasi orang lain. Ia mencintai sejarah—bukan semata karena buku atau cerita, tapi karena ia belajar bahwa masa lalu adalah bagian dari perjuangan. Masa lalu adalah alasan mengapa seseorang bisa bertahan hari ini, dan tetap berdiri untuk masa depan. Dan mungkin, sejarah juga bisa membantunya menemukan dirinya sendiri.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Setelah selesai salat, mereka kembali ke mobil dan melanjutkan perjalanan. Mobil bergerak menuju dataran tinggi yang lebih sepi dan jauh dari keramaian. Sesampainya di kafe yang Angga tuju, kafe kecil yang terletak di puncak bukit, mereka duduk di tempat yang cukup terlindung. Angga memakaikan jaket miliknya ke tubuh Tabitha yang terlihat sedikit kedinginan. "Nggak papa, tempatnya aman kok. Nggak ada orang yang kenal sama lo," kata Angga dengan lembut, memastikan Tabitha merasa nyaman.
Tabitha tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang. "Makasih ya, Angga," ucapnya pelan, sambil menatap pemandangan malam yang indah dari kafe tersebut.
Angga duduk di hadapannya, memperhatikan dengan seksama. "Ta, kalau lo butuh ngomong, gue di sini, kok. Nggak usah ragu buat cerita. Gue ngerti kok, kalau lo lagi butuh waktu dan tempat untuk refleksi."
Tabitha memandang Angga, sedikit tersenyum, namun matanya masih terlihat kosong. "Gue cuma... nggak tahu harus gimana, Ngga. Semua ini nggak gampang. Ada banyak hal yang harus gue hadapi, dan kadang gue merasa kayak nggak bisa memenuhi ekspektasi orang tua gue," ucapnya pelan, hampir seperti bisikan.
Angga mengangguk dengan penuh pengertian. "Ta, lo nggak sendirian. Kadang emang nggak gampang buat menghadapi ekspektasi orang lain, terutama yang orang tua kita harapkan. Tapi itu bukan beban yang harus lo bawa sendirian. Kalau lo mau cerita, gue denger kok."
Tabitha menunduk sejenak, kemudian menarik napas panjang. "Gue takut, Angga. Takut nggak bisa jadi apa yang mereka mau. Mereka selalu punya harapan besar buat gue. Tapi kadang gue merasa capek, nggak tahu lagi harus bagaimana."
Angga diam sejenak, merasakan betapa berat beban yang dipikul oleh Tabitha. "Lo berhak merasa capek dan butuh waktu buat diri sendiri. Kadang kita nggak harus memenuhi harapan orang lain. Yang penting, lo tetap jadi diri lo sendiri, dan lo nggak harus sempurna."
Tabitha mengangkat wajahnya, menatap Angga dengan pandangan yang lebih lembut. "Makasih, Ngga. Gue nggak tahu gimana kalau tanpa lo hari ini."