Sepulang sekolah, Angga dan Tabitha tiba lebih dulu di kafe Atrica, sebuah tempat yang terkenal dengan suasananya yang nyaman dan mewah. Mereka memilih duduk di VVIP room yang sudah dipesan oleh Angga. Tak lama kemudian, Daniel masuk bersama Zunaira, yang tampak sedikit canggung meski tetap mengikuti langkah Daniel dengan tenang.
Daniel membuka pintu VVIP room dan langsung duduk, melirik Angga yang sudah bersantai dengan Tabitha di sebelahnya. “Mau bahas dulu atau makan dulu?” tanyanya tanpa basa-basi, nada suaranya seperti biasa, tegas tapi santai.
Angga melirik Tabitha sejenak, seolah meminta pendapatnya, sebelum menjawab, “Makan dulu aja, biar santai.”
Tabitha mengangguk setuju, sambil merapikan rambutnya. “Setuju. Kalau udah kenyang kan, bahasannya juga lebih tenang.”
Zunaira yang duduk di sebelah Daniel hanya diam, melirik Daniel sesekali, menunggu keputusan. Daniel menghela napas ringan, “Oke. Tapi jangan kelamaan. Gue cuma ada waktu sampai jam tujuh.”
Angga tertawa kecil sambil memanggil pelayan untuk membawa menu. “Sabar, Niel. Lo jangan sibuk-sibuk banget deh, masa presiden kalah sibuk sama lo.”
Tabitha menahan tawa kecilnya, sedangkan Zunaira tersenyum tipis. Meskipun suasana awalnya terasa kaku, perlahan-lahan percakapan mulai mengalir, terutama setelah mereka memesan makanan.
Setelah makanan mereka datang, suasana semakin santai. Sambil menikmati hidangan, Angga mulai membuka topik utama pertemuan mereka.
“Jadi, gue kepikiran tentang rencana lomba karya ilmiah ini,” ujar Angga, menyandarkan punggungnya ke kursi sambil menatap teman-temannya satu per satu. “Gimana kalau kita bikin karya ilmiah yang berkaitan dengan sejarah? Mungkin sejarah kota kita atau kejadian besar yang memengaruhi banyak orang.”
Daniel menyimak dengan serius, menatap Angga sejenak sebelum berbicara. “Sejarah menarik sih, tapi kita harus cari topik yang nggak terlalu umum. Kalau terlalu sering dibahas, kita nggak akan menonjol.” Ia memiringkan kepalanya, sepertinya sedang berpikir keras. “Mungkin kita bisa cari angle baru, misalnya sejarah tentang peran perempuan dalam pembangunan kota atau daerah ini.”
Zunaira, yang sedari tadi terdiam, akhirnya angkat bicara. “Sejarah perempuan bisa jadi ide bagus. Apalagi kalau kita telusuri bagaimana kontribusi perempuan di bidang-bidang yang mungkin selama ini terlupakan atau kurang mendapat perhatian.”
Tabitha, yang terlihat lebih tenang dan bijaksana, menambahkan, “Setuju. Kalau kita bisa gabungkan riset sejarah dengan data dan fakta yang kuat, itu bisa jadi nilai plus. Tapi kita juga harus perhatikan sumber data yang kita pakai, jangan sampai salah.” Tabitha melirik Angga, memastikan bahwa dia setuju dengan usulnya.
Angga mengangguk, terlihat puas dengan pendapat mereka. “Gue juga berpikir begitu. Kita perlu riset yang mendalam supaya karya ilmiah kita nggak cuma sekedar tulisan, tapi punya dampak yang kuat. Kalau udah ada ide besar kayak gini, kita harus bener-bener gali lebih dalam.”
Zunaira mengangguk setuju, sementara Daniel terlihat mulai berpikir lebih lanjut. "Kalau begitu, kita harus segera buat garis besar dulu, siapa yang bakal fokus ke apa, dan tentu saja siapa yang jadi penulis utama," katanya. "Tapi gue pengen pastiin kita punya angle yang unik. Kalau enggak, kayak yang lo bilang tadi, kita bakal kalah saing."
Angga menatap Daniel dengan senyuman. "Tenang, kita bakal kerjain ini dengan serius. Nggak bakal gampang buat kita kalah."
"Menurut gue, salah satu poin penting yang harus kita soroti adalah akses perempuan terhadap pendidikan di daerah terpencil. Banyak yang nggak punya kesempatan karena faktor ekonomi dan budaya," kata Zunaira sambil mencatat poin-poin utama di laptopnya.
Daniel mengangguk setuju. "Setuju, Ney. Kita juga bisa masukkan contoh program inovasi yang sudah ada, terus kasih usulan program baru. Jadi nggak cuma bahas masalahnya doang."
Angga tersenyum tipis, menatap Zunaira dengan mata yang berbinar. "Gue jarang liat lo ngomong sebanyak ini, Nai. Ternyata public speaking lo bagus juga."
Zunaira melirik Angga sekilas, lalu kembali fokus ke laptopnya, meskipun pipinya sedikit merona. "Gue cuma ngomong hal yang penting aja, nggak lebih."
Tabitha, yang dari tadi sibuk mengetik di ponselnya, tiba-tiba menyela. "Kalau gue boleh tambahin, kita juga perlu bahas peran teknologi untuk perempuan. Misalnya, gimana teknologi bisa bantu perempuan di pedesaan untuk akses pendidikan atau peluang kerja."