Bel pulang berbunyi dengan nyaring, menggema di seluruh sudut sekolah. Suara itu seperti menjadi tanda kebebasan bagi para siswa, termasuk Daniel, Angga, Tabitha, dan Zunaira. Di kelas masing-masing, mereka merasakan perasaan yang sama: lega bercampur dengan kegugupan yang aneh.
Tabitha yang biasanya dikenal santai kini tampak sangat terburu-buru. “Lo buru-buru banget, Ta? Mau kemana sih?” tanya Riska, teman satu meja Tabitha.
Ia menjejalkan buku ke dalam tas tanpa peduli pada protes ringan dari teman sebangkunya. "Iya, ada hal penting yang harus gue urus," ujarnya sambil berlalu dengan langkah cepat menuju pintu keluar.
“Lah terus tugas kelompoknya ini gimana?!” teriak Viola, yang duduk tepat di belakang Tabitha.
“Nanti gue kabarin, tenang aja, pasti selesai!” teriak Tabitha yang mulai menjauh. Tujuannya saat ini adalah menemui tiga temannya yang sudah menunggu di parkiran. Ya, mereka akan mengambil empat jurnal masing-masing.
***
Setibanya di kantor keluarga Daniel, rasa kagum tetap terpancar dari wajah Tabitha, Zunaira, dan Angga, meskipun mereka sudah tahu bahwa Daniel berasal dari keluarga kaya raya. Kantor itu lebih mirip istana modern daripada tempat kerja biasa.
“Gila, Niel. Gue nggak pernah bosen ngeliat tempat ini. Selalu aja kayak mimpi,” kata Tabitha sambil memutar tubuhnya, melihat ke segala arah.
Zunaira, yang sudah pernah masuk sini, ikut berkomentar, “Serasa masuk ke dunia lain. Ini kantor atau istana, sih?”
Daniel tersenyum kecil mendengar reaksi mereka. “Udah biasa aja kali. Yuk, langsung ke ruangan bokap gue,” katanya sambil melangkah menuju lift.
Ketika mereka masuk lift, Daniel menekan tombol menuju lantai paling atas. Raka sudah menunggu mereka di depan sebuah pintu besar berlapis kayu mahoni.
“Selamat datang, Niel,” sapa Raka dengan sopan. “Langsung masuk ke dalam saja, semua sudah saya bereskan.”
“Thanks, Bang,” jawab Daniel santai. “Kita nggak akan lama kok.”
Raka mengangguk sebelum berlalu meninggalkan mereka. Daniel membuka pintu ruangan ayahnya dan mempersilakan teman-temannya masuk. Ruangan itu bahkan lebih luar biasa—dengan rak buku setinggi langit-langit, meja kerja besar yang tampak antik, dan jendela besar yang memberikan pemandangan kota.
“Wah, ini beneran ruangan kerja atau ruang pamer?” canda Angga sambil melihat-lihat.
“Diam deh, Ngga,” jawab Daniel setengah tertawa. Ia langsung menuju rak buku di sudut ruangan. “Gue yakin ada sesuatu di sini yang berhubungan sama peta ini. Bokap suka nyimpen dokumen-dokumen penting di bagian ini.”
Daniel mengambil sebuah buku jurnal tebal yang ia sisihkan saat pertama kali menemukan potongan peta itu. Ia menatap teman-temannya dengan serius, lalu mengangkat buku tersebut.
“Gue dapet potongannya dari jurnal ini,” katanya sambil menunjukkannya.
Judul pada sampul jurnal itu terbaca jelas: Evolusi Manusia dan Perkembangan Kecerdasan: Dari Genetik ke Peradaban.
Tabitha mendekat untuk melihat lebih jelas, lalu mengangkat alisnya. “Judulnya kayak buku teks berat banget. Tapi kok rasanya ini lebih dari sekadar jurnal ilmiah biasa.”