Pagi itu, Angga sudah siuman, meski masih terlihat lemah. Dia duduk bersandar di tempat tidur dengan bantal penyangga di punggungnya. Tabitha duduk di kursi dekat ranjang, dengan nampan makanan dari rumah sakit di tangannya. Pelan-pelan, dia membantu Angga menyuapkan bubur yang masih hangat.
“Kenapa lo bawa gue ke sini sih, Ta? Harusnya nggak perlu sampai rumah sakit," kata Angga setelah menghabiskan suapan ketiga dari Tabitha.
"Ya lo pikir aja deh, Ngga? Lo dari pagi sibuk banget di sekolah, lanjut ke Bandung perjalanan jauh. Gimana nggak drop?" Tabitha mulai mengomel sambil mengaduk bubur di tangannya.
Angga terkekeh mendengar omelan Tabitha yang menurutnya lebih lucu. Dia melirik Tabitha, yang tampak fokus menyuapkan makanan. “Makanya lo harus sembuh,” lanjut Tabitha sambil mengambil sendok berikutnya. “Habis lo sembuh langsung pulang ke Jakarta. Kita sepakat mulai lagi kalau semua sudah membaik.”
Angga tersenyum tipis. “Lo ngomongnya kayak gue pasien serius aja.”
“Karena lo emang serius, Ngga,” balas Tabitha dengan nada setengah kesal. “Kalau lo jatuh sakit lebih parah, gimana kita mau ngomong ke bunda lo? Gue nggak mau ya, diantara kita berempat kenapa-napa.”
Angga tertawa kecil, meski sedikit tertahan karena tubuhnya masih terasa lemah. “Iya, iya. Gue ngerti. Lo nggak usah bawel gitu, Ta.”
Tabitha mendengus, lalu menyodorkan segelas air putih. “Minum, deh. Nanti gue bawel beneran kalau lo nggak nurut.”
Di luar ruangan, Daniel dan Zunaira sedang berjalan kembali ke arah ruang rawat sambil membawa kantong plastik berisi sarapan untuk mereka bertiga. Wajah mereka terlihat lebih segar setelah menghirup udara pagi di luar rumah sakit.
Saat Daniel dan Zunaira masuk ke ruang rawat, Angga langsung memperhatikan paperglass di tangan Zunaira. Matanya menyipit begitu melihat Zunaira memberikannya pada Daniel.
“Kopi buat gue mana, Nai?” tanya Angga dengan nada bercanda, meski sorot matanya penuh harap.
Daniel memutar bola matanya sambil duduk di sofa kecil di sudut ruangan. Dia mengambil kopinya dan menyeruput pelan sebelum menjawab. “Sembuh dulu, kocak,” sambar Daniel santai, mengangkat alis dengan tatapan usil.
Angga mendengus sambil menatap Tabitha yang terkekeh kecil di sebelahnya. “Kok lo gitu sih, tega sama gue. Teman macam apa lo?”
“Teman yang masih waras, makanya gue nggak kasih lo kopi,” balas Daniel cepat. “Lo tau nggak kalau minum kopi pas sakit cuma bikin lo tambah lemes? Udah, fokus aja sama bubur lo itu.”
"Enak banget kalian makan nasi uduk, sedangkan gue? Bubur ini nggak ada rasanya, anjir!" keluh Angga merajuk.
***
Kegiatan upacara bendera berjalan tertib. Lagu Indonesia Raya berkumandang merdu, mengiringi naiknya bendera merah putih ke puncak tiang. Seluruh siswa SMA Bumi Cakrawala berdiri dalam sikap hormat, memandang bendera dengan tatapan penuh kebanggaan.
Namun, di barisan kelas IPS, suasana berubah seketika saat lagu kebangsaan selesai dinyanyikan.
Bruk!
Tubuh seorang gadis terjatuh ke tanah, menarik perhatian seisi lapangan.
"Tabitha?!" seru beberapa siswa kelas 11 IPS 2 dengan nada panik.
Tabitha tergeletak lemas, wajahnya pucat pasi. Kepanikan merambat cepat di barisan tersebut. Daniel, yang berada di barisan sebelah, segera menoleh ke arah keributan. Matanya melebar begitu melihat Tabitha pingsan.
Tanpa pikir panjang, Daniel menerobos barisan, mendorong tubuh-tubuh yang menghalang. Dengan segera, dia mengangkat tubuh Tabitha. Tanpa peduli pada tatapan heboh siswa-siswi lainnya, Daniel membawa Tabitha menuju ruang UKS.
Di sepanjang perjalanan, pikiran Daniel berputar. Dia tahu Tabitha punya kebiasaan buruk kalau sedang emosional, yaitu telat makan. Pertengkaran Tabitha dengan ayahnya akhir kemarin pasti membuat gadis itu semakin enggan untuk mengisi perutnya.
Setibanya di UKS, Daniel langsung meminta petugas UKS untuk memberikan penanganan.