Zunaira duduk dengan gelisah di ruang kerja ayahnya, memegang surat dispensasi yang telah dia persiapkan dengan hati-hati. Setiap kata di dalam surat itu terdengar meyakinkan, lengkap dengan tanda tangan kepala sekolah dan stempel resmi MPK, yang seharusnya cukup untuk meyakinkan ayahnya. Namun, degup jantung Zunaira tetap keras, khawatir kalau ada yang mencurigakan.
Ayahnya, yang sedang memeriksa dokumen-dokumen di mejanya, akhirnya menatap Zunaira. "Apa ini?" tanyanya dengan suara datar, namun tetap terdengar penuh perhatian.
Zunaira menarik napas panjang, menyembunyikan rasa cemas di wajahnya. "Ini surat dispensasi untuk ikut studi tutorial di asrama sekolah, Yah. Itu persiapan buat lomba karya ilmiah nasional yang akan datang. Jadi, sekolah minta aku mengikuti beberapa kegiatan persiapan di sana," jelas Zunaira dengan suara yang terdengar cukup meyakinkan, meskipun dalam hatinya dia sangat gugup.
Ayahnya mengangkat alis, lalu memperhatikan surat itu lebih teliti. Zunaira bisa merasakan ketegangan di udara. "Hmm... satu minggu ke depan ya," katanya sambil memeriksa tanda tangan dan stempel di surat tersebut.
Zunaira menunggu dengan cemas, berusaha menahan napasnya. "Iya, Ayah. Jadi, aku butuh izin untuk pergi selama beberapa hari ke asrama. Ini penting banget buat persiapan aku."
Ayahnya terdiam sejenak, matanya tetap terfokus pada surat di tangannya. Zunaira menahan pandangannya, tidak berani melihat lebih lama. Beberapa detik yang terasa seperti jam.
"Ada yang mau kamu bahas lagi sama Ayah?" tanya ayahnya akhirnya, suaranya lebih lembut. Namun, tetap ada kecurigaan yang tersembunyi di dalam nada bicaranya.
Zunaira merasa seolah beban berat terlepas. "Enggak ada, Yah. Itu saja," jawabnya, berusaha terdengar santai.
Ayahnya mengangguk pelan. "Oke. Kamu boleh pergi, tapi ingat, jaga diri baik-baik. Jangan sampai kamu pulang kenapa-napa."
Zunaira menghela napas lega, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang. "Terima kasih, Ayah. Aku akan hati-hati."
"Semoga sukses dengan lombanya," tambah ayahnya, lalu kembali mengalihkan perhatiannya pada dokumen lainnya.
Zunaira mengangguk dan segera berdiri, merasa lega namun juga sedikit merasa bersalah karena telah berbohong. Namun, untuk misi yang lebih besar, dia tahu ini adalah langkah yang harus dia ambil.
Setelah keluar dari ruang kerja ayahnya, Zunaira menatap surat dispensasi itu dengan perasaan campur aduk. Zunaira duduk di depan laptopnya, menekan tombol untuk bergabung ke panggilan video. Begitu layar terbuka, terlihat wajah Tabitha yang sudah menunggu dengan ekspresi penuh semangat. Beruntung, minggu ini orang tuanya tidak ada di rumah.
"Lo akhirnya gabung juga!" kata Tabitha sambil tersenyum. "Gimana, ayah lo oke dengan surat itu?"
Zunaira mengangguk, meski hatinya masih berdebar-debar. "Iya, Alhamdulillah dia setuju. Cuma... gue merasa agak bersalah aja," jawabnya jujur.
Angga menyeringai, “It’s okay, Nai. Yang penting semuanya aman.”
Daniel yang layarnya berada di samping Angga mengangguk setuju. "Bener, kita cuma perlu fokus pada tujuan kita. Kalo semua berjalan lancar, kita bisa cepat selesaiin ini semua."
"Yuk, kita mulai bahas barang-barang yang perlu dibawa," lanjut Zunaira, mencoba mengalihkan pembicaraan dari kecemasan di hatinya. "Gue kira kita perlu bawa barang-barang penting. Soal baju dan lainnya, bedain sama yang lain, ya."