Mereka melangkah perlahan, menyusuri lorong gelap yang hanya diterangi sedikit oleh cahaya yang remang dari sela-sela celah dinding tua. Udara semakin dingin, menusuk kulit, dan memberikan rasa tidak nyaman. Daniel dengan sigap menyampirkan jaketnya di bahu Zunaira yang tampak menggigil.
“Thanks,” gumam Zunaira. Dia menarik jaket itu lebih erat ke tubuhnya sambil terus berjalan.
“Lo semua ngerasa nggak sih, makin ke sini makin aneh?” Tabitha memecah keheningan. Tangannya menelusuri dinding di sebelahnya, merasakan tekstur kasar dan dingin yang seperti batu tua.
“Gue rasa ini bukan cuma lorong biasa,” jawab Angga di depan. Suaranya bergetar, tapi tatapan matanya waspada, seperti mencoba menahan rasa takutnya.
“Ngga, tuker, biar gue di depan. Lo harus tetap sadar sampai kita nemuin cahaya lebih terang.” Tabitha dengan gerakan cepatnya segera menukar tempat. Zunaira yang berada di belakang Angga juga mulai mengarahkan senter ke sebelah laki-laki itu agar merasa bahwa sinar cahaya tetap di sisinya.
“Kalau lo butuh apa-apa, bilang ya, Ngga? Gue jaga di belakang,” kata Daniel dengan tegas.
“Okai, aman.” Angga mengacungkan jari jempolnya. Saat ini dia berusaha mengatur napas dan jantungnya agar bekerja sama dengan kondisi kepepet ini.
Lorong itu semakin sempit, membuat keempatnya harus berjalan lebih hati-hati. Tabitha yang berada di depan terus memastikan tidak ada jebakan atau celah yang berbahaya. Zunaira, dengan senter di tangannya, menjaga cahaya tetap menerangi jalan. Namun, tatapannya sering kali berpindah ke Angga yang tampak gelisah di tengah mereka.
“Ngga, napas lo masih cepat. Lo yakin nggak apa-apa?” tanya Zunaira pelan. Lengannya bergandengan dengan Angga, memastikan laki-laki itu tetap berdiri di sebelahnya.
Angga menelan ludah, suaranya sedikit bergetar saat menjawab, “Gue nggak apa-apa. Cuma... sedikit nggak nyaman.”
Tabitha menoleh sebentar, matanya tajam tapi nada suaranya lembut, “Sabar ya, Ngga? Kita pasti bisa keluar dari sini.”
Daniel yang berada di posisi terakhir juga angkat bicara, “Kalau lo mulai ngerasa nggak kuat, bilang. Jangan maksa.”
Angga mengangguk pelan, meski hatinya masih berdebar. Ia mencoba mengikuti saran teman-temannya, mengatur napas dan fokus pada langkah-langkah kecil.
Setelah beberapa menit berjalan, mereka sampai di depan sebuah pintu batu besar dengan ukiran simbol-simbol yang sudah familiar. Zunaira mendekat, menyinari ukiran itu dengan senter. Sedangkan Tabitha mundur, dia memegang lengan Angga yang mulai panas.
“Pintunya ada pola,” gumamnya. “Kayaknya ini teka-teki. Kita harus pecahin ini biar bisa masuk.”
Daniel maju, memeriksa dengan teliti, “Batu ini bisa digeser. Polanya mirip kayak puzzle yang harus disusun.”
Zunaira mengangguk cepat, mengingat-ingat isi jurnalnya. “Simbol-simbol ini... mereka ada urutan tertentu. Tunggu, gue inget sesuatu.” Ia menutup matanya sejenak, mengandalkan ingatan fotografisnya untuk membayangkan isi jurnal keempat.
“Niel, geser batu yang ada ukiran lingkaran ke kiri,” kata Zunaira dengan nada yakin.
Daniel tanpa ragu mengikuti instruksinya. Tangannya cepat dan terampil saat memindahkan batu itu. “Terus?” tanyanya.
“Yang segitiga kecil, geser ke atas. Tapi pelan-pelan,” Zunaira melanjutkan, menunjuk pola lain yang sesuai dengan urutan di jurnal.
Angga dan Tabitha berdiri di belakang, memperhatikan dengan penuh ketegangan. “Lo beneran inget semua ini, Nai?” tanya Tabitha takjub.
“Dia otak kita. Kalau bukan karena Neya, kita pasti udah gagal di sini,” jawab Daniel sambil tersenyum kecil, meski matanya tetap fokus di bawah sinar temaram itu.
Setelah beberapa kali memindahkan batu sesuai instruksi Zunaira, terdengar suara klik pelan. Pintu itu mulai bergerak, terbuka perlahan, mengeluarkan derit yang menggema di lorong.