Langkah mereka terhenti di tengah lorong yang gelap dan dingin. Angga terduduk di lantai, bersandar pada dinding yang terasa lembap. Tubuhnya bergetar, meski wajahnya tampak memerah. Napasnya terdengar berat, tubuhnya mulai menggigil.
“Ngga, lo kenapa?” Tabitha berjongkok di sampingnya, dengan senter yang tetap menyala, segera mengusan kedua lengan Angga untuk memberikan kehangatan.
“Dingin, Ta…” gumam Angga lemah, menunduk sambil mencoba mengatur napas.
Tabitha menggigit bibirnya, berusaha tidak panik. “Gue rasa ini hipotermia lo kambuh. Lo pakai jaket lagi.” Dia mengambil jaket tambahan yang ada di tasnya dan memberikannya pada Angga.
Sementara itu, di sisi lain, Zunaira tampak tidak lebih baik. Tubuhnya melemah, dan dia berusaha keras untuk tetap berdiri, tapi lututnya mulai goyah. Napasnya cepat dan tidak teratur, seperti mencoba mencari udara lebih banyak. Daniel segera menangkapnya sebelum dia jatuh.
Daniel memeluk Zunaira lebih erat, mencoba menyalurkan sedikit kehangatan. “Lo istirahat aja dulu. Jangan dipaksa, Ney. Kita bisa berhenti sebentar.” Daniel tahu, anemia gadis itu kambuh.
Mereka memutuskan untuk berhenti sejenak. Tabitha mengeluarkan sisa air mineral dari tasnya dan memberikannya pada Zunaira. Daniel membantu gadis itu duduk bersandar di dinding, sementara Angga sudah mulai terlihat lebih tenang setelah dipeluk Tabitha.
Tabitha mengambil napas panjang. “Kita perlu strategi. Kalau kondisi mereka makin buruk, kita nggak bisa terus-terusan gini. Kita harus cari cara untuk keluar lebih cepat.”
“Tapi gimana? Setiap lorong punya teka-teki, dan kita nggak tahu berapa banyak lagi di depan,” jawab Daniel sambil menghela napas panjang.
“Gue masih bisa bantu,” kata Zunaira pelan. Matanya menatap Daniel dengan tekad, meski tubuhnya terlihat lemah. “Kita harus cepat keluar dari sini. Perasaan gue udah mulai nggak enak.”
“Lo serius, Nai?” tanya Angga dari tempatnya duduk, suaranya masih serak.
Zunaira mengangguk. “Gue serius. Kalau kita cuma berhenti terus, kita nggak akan kemana-mana.”
Tabitha menghela napas. “Oke, kita istirahat lima menit lagi, lalu lanjut. Kalau ada apa-apa, lo bilang, Nai. Kita nggak bakal biarin lo ngelakuin ini sendirian.”
Mereka bertiga setuju, mengambil waktu untuk mengumpulkan tenaga. Dalam keheningan itu, hanya suara napas mereka yang terdengar, bergema lembut di lorong gelap yang seakan tidak berujung.
***
Mereka berdiri di depan pintu besar itu, dikelilingi oleh keheningan labirin yang mencekam. Pola abstrak di dinding pintu terlihat lebih rumit dari sebelumnya, dengan simbol-simbol yang saling terhubung, membentuk sebuah teka-teki besar. Zunaira menatapnya dalam-dalam, keningnya berkerut.