Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #17

Kastil Keramat

Mereka berempat mulai menyisir ruangan itu, mata mereka memeriksa setiap ukiran, benda, atau simbol yang mungkin menyimpan rahasia lain. Cahaya terang membantu mereka melihat lebih jelas, tapi mereka tetap berhati-hati, karena rasa waspada masih membayangi langkah mereka.

Angga yang sudah kembali bugar tiba-tiba bergerak lebih cepat daripada yang lain. Dia berjalan menyusuri ruangan besar itu dengan penuh rasa penasaran, memperhatikan setiap detail dinding dan sudut ruangan. “Kalian sadar nggak sih? Tempat ini... kayak kastil,” ucapnya dengan nada kagum.

Tabitha yang sedang memeriksa ukiran di tembok berhenti dan menoleh. “Kastil? Maksud lo kayak kastil di film-film? Gue bingung, kenapa kita bisa sampai di lokasi kayak gini? I mean, this doesn’t make sense.

“Bukan cuma kastil biasa,” Angga melanjutkan sambil menyentuh salah satu pilar batu besar yang sudah ditutupi lumut. “Ini kayak... kastil kuno yang udah menyatu sama alam. Liat deh, pohon-pohon itu bahkan tumbuh di sela-sela dindingnya.”

Zunaira mendekat melihat bagian lantai yang retak dan ditumbuhi rumput liar. “Lo benar. Tapi masalahnya, kita nggak tahu apa-apa soal tempat ini. Kastil ini nggak ada di empat jurnal yang kita baca.”

Daniel, yang sedang berdiri di dekat sebuah jendela besar tanpa kaca, mengangguk. “Gue juga udah mikir soal itu. Kastil ini nggak disebutkan sama sekali. Tapi coba pikir, kalau kita bisa tahu bentuk keseluruhan kastil ini, kita mungkin bisa cari jalan keluar.”

“Masalahnya adalah,” sela Tabitha, “ruangan ini penuh dengan jalan bercabang. Kita nggak tahu mana yang benar.”

Angga melangkah ke tengah ruangan, menunjuk beberapa lorong yang mengarah ke berbagai arah. “Gue setuju. Kalau kita nekat jalan tanpa rencana, kita bisa tersesat lebih jauh.”

Zunaira memejamkan mata, mulai mengingat semua isi jurnal yang dia baca sebelumnya. Kesalahannya, mereka tidak ada yang membawa jurnal itu saat ini, tapi dia ingat semuanya. “Gue udah cek semuanya,” kata Zunaira setelah beberapa menit. “Nggak ada satu pun kata atau simbol yang nyebut soal kastil ini.”

Daniel menggaruk kepala. “Terus gimana? Masa kita cuma duduk di sini?”

“Gue rasa kita harus ambil risiko,” ucap Tabitha. “Kita pilih salah satu jalan dan jalanin aja. Kalau buntu, kita balik.”

“Tapi kalau salah pilih, kita bisa buang-buang waktu atau malah kejebak,” sahut Angga, wajahnya serius. 

Zunaira memandang mereka dengan ragu. “Tunggu. Sebelum kita mutusin, gimana kalau kita cari sesuatu di ruangan ini? Mungkin ada simbol atau tanda yang bisa ngasih petunjuk.”

Daniel berdiri sambil menepuk celananya. “Setuju. Kita berpencar, tapi jangan jauh-jauh. Cek tiap sudut dan pastiin nggak ada yang kelewatan.”

Mereka berjalan perlahan menyusuri ruangan besar di kastil itu, memeriksa setiap detail yang terlihat. Di dinding sebelum masuk ke setiap lorong, mereka menemukan ukiran-ukiran aneh berbentuk pola geometris bercampur dengan aksara kuno. Ukiran itu tampak rumit dan memiliki simbol-simbol yang seperti teka-teki.

Angga, yang berdiri di depan ukiran berbeda, mencoba membaca perlahan. Dia menatap ukiran itu dengan saksama, mengingat pelajaran yang pernah dipelajarinya. “Gue coba ini, ya,” katanya sambil menyentuh salah satu pola. Pola itu mulai berpendar dengan warna keemasan.

Tiba-tiba, suara gemuruh terdengar. Salah satu lorong di depan mereka mendadak tertutup oleh kabut gelap yang terasa panas, seperti kabut vulkanik. Angga mundur dengan cepat, wajahnya pucat.

“Lo ngapain?!” Zunaira bertanya, matanya melebar.

“Gue cuma jawab soal!” Angga balas dengan suara bergetar. “Kayaknya... kalau kita jawab teka-teki di setiap ukiran, kita bakal tahu lorong mana yang nggak tertutup kabut itu.”

Mereka semua saling pandang, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Lihat selengkapnya