Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #18

Hutan Terlarang

Mereka semua berdiri dalam keheningan, membiarkan momen itu berlalu. Momen dimana ketegangan, rasa takut, dan usaha mereka selama ini terasa terbayarkan. Angga melirik ke arah Tabitha yang masih meneteskan air mata, sementara Daniel menahan Zunaira dalam pelukannya seperti tak ingin melepaskan.

Namun di tengah rasa haru itu, Angga tiba-tiba tersadar dan berkata dengan nada waspada, "Tapi... ini belum berakhir, kan? Kita nggak tahu apa yang ada di luar sana."

Tabitha melepaskan pelukannya perlahan, mengusap wajahnya yang basah dengan tangannya. "Setidaknya, kita berhasil sejauh ini. Dan kita bisa menghadapi apa pun... bersama-sama."

Daniel mengangguk setuju, masih memegangi Zunaira yang perlahan mencoba berdiri sendiri. "Betul. Kita udah lewatin semua ini. Apa pun yang ada di depan, kita nggak akan mundur."

Dengan langkah mantap, mereka mulai melangkah keluar dari kastil, menghadapi dunia baru yang terbentang di depan mereka—penuh harapan, tetapi juga tanda tanya yang tak terjawab.

Keluar dari kastil, mereka disambut oleh suasana hutan lebat yang terasa hidup di bawah cahaya bulan purnama. Ranting-ranting pohon menjulang tinggi, menciptakan bayangan yang meliuk-liuk di tanah. Udara dingin malam menyelimuti mereka, tetapi keheningan yang menyelimuti hutan ini membuat langkah mereka lebih waspada.

Angga, yang mulai merasakan kembali ketidaknyamanan dengan kegelapan, berjalan dengan tatapan awas. Tabitha berada di sampingnya, memastikan dia tetap tenang. "Ngga, kalau capek, lo bilang. Jangan dipaksa," katanya lembut sambil melirik ke arahnya.

Angga hanya mengangguk kecil. "Gue nggak apa-apa. Tapi kita harus cepat keluar dari sini. Semakin jauh dari kastil, semakin baik."

Di belakang mereka, Zunaira dan Daniel berjalan beriringan. Zunaira, meski masih terlihat lelah, mencoba menjaga ketenangannya. Sesekali, dia memegang ranting atau batang pohon untuk menstabilkan langkahnya.

Daniel memperhatikannya dengan cermat. "Lo yakin nggak mau gue gendong? Gue bisa kalau lo butuh," tawarnya dengan nada serius.

Zunaira menggeleng sambil tersenyum tipis. "Gue masih bisa jalan. Lagipula, lo sendiri pasti capek juga."

Daniel hanya mengangkat bahu, tapi dia tetap melangkah mendekat, seolah berjaga jika Zunaira tiba-tiba butuh bantuan.

Suara malam perlahan mulai terdengar. Gemerisik daun, suara serangga, dan sesekali bunyi burung hantu menciptakan atmosfer yang membuat mereka tetap waspada. Angga berhenti sejenak, menyorotkan senter ke arah jalur kecil di depan mereka.

"Kita harus hati-hati. Ini kayak jalur binatang, tapi gue nggak tahu ini menuju ke mana," kata Angga pelan.

Tabitha mengamati jejak di tanah. "Gue juga nggak yakin. Tapi kita nggak punya pilihan lain selain terus maju. Kalau kita berhenti, kita malah makin bingung."

Zunaira mendekat, pandangannya tertuju pada jalur tersebut. "Kita harus cari tanda-tanda. Kalau jalur ini sering dilewati, mungkin kita bisa tahu dari apa yang tertinggal di sekitar sini."

Daniel mengangguk. "Gue bakal cek di depan sedikit, kalian tunggu di sini."

"Tunggu, Niell!" Tabitha mencoba menghentikannya. "Jangan mencar. Kalau lo pergi sendiri dan sesuatu terjadi, kita nggak bisa bantu."

Daniel terdiam sejenak, lalu mengalah. “Yaudah, kita jalan bareng. Tapi hati-hati."

Di tengah perjalanan, Zunaira tiba-tiba berhenti. "Tunggu!" katanya sambil menunjuk sesuatu di depan mereka.

"Batu ini, jadi tanda kalau di depan ada goa."

Goa itu tampak gelap, tetapi cukup besar untuk menampung mereka berlindung. Karena kelelahan, mereka memutuskan untuk berhenti dan beristirahat di sana sebelum melanjutkan perjalanan.

Lihat selengkapnya