Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #19

Hutan Terlarang (2)

Pagi itu, mereka duduk melingkar di dalam goa sambil menikmati roti yang dibawa Tabitha. Meski sudah sedikit keras, roti itu terasa seperti makanan terbaik bagi mereka yang kelelahan dan kelaparan. Tabitha dengan sigap membagi roti yang tersisa, memastikan semua mendapat bagian yang cukup.

“Gue nggak nyangka masih ada bekal ini,” kata Tabitha sambil tersenyum kecil. “Untung gue nggak lupa bawa, kalau nggak kita cuma bisa ngunyah udara.”

Thanks, Ta,” kata Angga sambil menggigit rotinya perlahan. Wajahnya sudah mulai terlihat lebih segar setelah istirahat malam tadi. “Tapi, serius, kita harus cari cara keluar dari goa ini. Gue nggak mau terjebak di sini terlalu lama.”

Zunaira, yang sudah selesai makan, mengangguk sambil membersihkan tangannya. “Setuju. Gue rasa goa ini nggak cuma tempat biasa. Apalagi ada batu besar di depan yang semalam kita lewatin. Gue sempat lihat ada ukiran di sana.”

Tabitha langsung menepuk dahinya. “Oh iya! Gue juga inget. Kayaknya itu aksara lagi, kayak yang di kastil kemarin. Tapi gue nggak sempat perhatiin detailnya.”

Daniel meneguk air mineral terakhir dari botolnya sebelum bicara. “Kalau itu aksara lagi, kemungkinan besar kita harus memecahkan teka-teki lagi. Ini kayaknya sengaja dibikin buat nguji kita deh.”

“Iya,” jawab Zunaira sambil berpikir keras. “Tapi kali ini kita harus lebih fokus. Otak kita udah diperas banyak banget kemarin. Lebih susah dari soal-soal olimpiade.”

Angga menarik napas dalam-dalam. “Yaudah, yuk kita cek batu itu sekarang. Gue udah cukup istirahat. Mungkin kali ini gue bisa bantu lebih banyak.”

Mereka semua berdiri, mengemasi barang-barang mereka yang tersisa. Tabitha mengambil senter yang masih ada di tasnya, memastikan jalan mereka aman. Perlahan, mereka keluar dari gua menuju batu besar yang dimaksud.

Di depan mereka, batu itu berdiri megah dengan ukiran aksara asing yang memenuhi permukaannya. Cahaya matahari pagi membuat ukiran itu tampak lebih jelas, memantulkan bayangan yang menakutkan tapi juga memikat.

“Ini dia,” kata Tabitha sambil menunjuk ke batu itu. “Sekarang tinggal gimana kita selesaiinnya.”

Daniel mendekati batu itu dan menyentuh ukirannya. “Ini kayak gambar berpola. Ney, lo bisa bantu baca ini?”

Zunaira memicingkan matanya, menelusuri pola-pola di batu besar itu dengan teliti. Ia menyadari bahwa pola tersebut tidak hanya sekadar ukiran biasa, melainkan memiliki bentuk yang sangat mirip dengan struktur molekul kimia. Garis-garis yang terhubung lingkaran kecil tampak seperti ikatan atom pada molekul.

"Ini... ini struktur molekul!" seru Zunaira, membuat yang lain langsung mendekat. "Kalau dirangkai, ini bukan hanya pola, tapi ada maksud tersembunyi di dalamnya."

Angga mendekat dan memiringkan kepalanya. "Maksud lo, ini semacam teka-teki kimia?"

Zunaira mengangguk sambil menyentuh salah satu pola di batu itu. "Iya. Lihat ini, misalnya. Ini mirip banget sama struktur glukosa. Lo coba inget lagi, Ngga. Ini pernah dibahas sama Bu Intan."

Daniel mengerutkan kening. "Tapi gimana caranya kita tahu apa maksudnya? Ini nggak mungkin cuma sekadar struktur molekul, kan?"

Angga tak punya ingatan sedetail Zunaira, tapi otaknya juga sama pintarnya. Tapi, dia butuh waktu untuk mengingatnya. Butuh beberapa menit sebelum matanya berbinar. "Got it! Pola ini, kalau dirangkai sesuai urutannya, membentuk kalimat dalam bahasa kimia."

Daniel mengerutkan alisnya. "Bahasa kimia? Maksud lo, kayak struktur-struktur gitu?"

"Kurang lebih," jawab Zunaira yang mulai memahami. "Tapi lebih dari itu, ini semacam petunjuk. Misalnya, kalau kita gabung struktur ini, dia membentuk kalimat yang artinya 'Ikuti arah karbon ke enam.'"

Lihat selengkapnya