Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #20

Hutan Terlarang (3)

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi pepohonan lebat, sesekali berhenti untuk beristirahat di bawah naungan pohon besar. Angga dan Zunaira terlihat mulai lelah, tapi mereka tetap menjaga semangat. Daniel memegang peta yang mereka temukan sebelumnya, berusaha mencocokkannya dengan medan di sekitar mereka.

"Ta, coba sini. Lo lihat deh," ujar Daniel sambil memberikan peta itu ke Tabitha. "Gue nggak ngerti kenapa jalurnya cuma satu garis lurus, padahal di sini banyak cabang jalan."

Tabitha menerima peta itu dan mengernyit, memeriksa dengan saksama. "Peta ini emang lebih keliatan simbolis daripada topografi asli. Nggak ada keterangan ketinggian atau relief. Kita cuma bisa andelin isyarat dan intuisi. Masalahnya, kalau kita salah pilih jalur, kita bisa muter-muter di tempat."

Zunaira yang duduk bersandar di batang pohon menyeka keringat di dahinya. "Jadi, kita harus terus-terusan ngandalin tanda-tanda di pohon atau batu untuk memastikan arah?”

Daniel mengangguk. "Kayaknya iya. Karena peta ini nggak jelas, kita harus fokus ke lingkungan sekitar. Kalau ada pola lagi, itu pasti petunjuk buat jalan yang benar."

Angga yang duduk di sebelah Zunaira mencoba menghibur. "Gue yakin lo pada bisa kok. Di sini kita saling bantu dan percaya satu sama lain. Gue yakin kita bisa selesaiin ini semua."

Tabitha tersenyum tipis, merasa sedikit terhibur. "Thanks guys, gue kayaknya nggak ngerti lagi kalau nggak sama kalian di sini."

Setelah beberapa menit beristirahat, mereka melanjutkan perjalanan. Daniel dan Tabitha berjalan di depan, berusaha mencocokkan peta dengan jalan setapak yang mereka lalui. "Lihat, di sini ada tanda lingkaran kecil," ujar Tabitha sambil menunjuk bagian peta. "Benar kata Nai kalau itu simbol untuk batu di jalur ini. Kayaknya kita harus lebih peka sekitar."

Benar saja, setelah beberapa ratus meter, mereka menemukan batu berjejer berjumlah sama dengan yang ada di peta. Ukiran itu terlihat samar, hampir tertutup lumut. "Ini dia," ujar Daniel sambil membersihkan ukiran itu dengan tangan. "Ini tanda kalau kita berada di jalur aman."

Tabitha mengamati batu itu dengan cermat. "Setuju, dari sini kita tahu harus lanjut ke arah ini." Ia menunjuk jalur yang berbelok sedikit ke kanan.

Dengan hati-hati, mereka melanjutkan perjalanan, mengikuti arah yang ditunjukkan oleh peta dan tanda-tanda di sekitar mereka. Di tengah perjalanan mereka, tiba-tiba Angga mendengar sesuatu. 

“Ada yang denger suara air nggak?” katanya sambil menghentikan langkah. Menatap ketiga temanya yang mulai menajamkan pendengarannya.

“Eh iya, ada suara air di sekitar sana!” seru Tabitha sambil menunjuk ke arah timur. 

“Ayo kesana!” 

Mereka berempat segera bergerak mengikuti suara gemericik air yang semakin jelas terdengar. Langkah mereka sedikit lebih cepat, semangat kembali muncul setelah perjalanan panjang yang melelahkan. Ketika akhirnya mereka tiba di tepi sungai, perasaan lega menyelimuti mereka.  

Sungai itu tidak terlalu besar, tapi airnya jernih dan mengalir tenang di antara bebatuan. Cahaya matahari yang menembus pepohonan membuat suasana terasa lebih hidup, tidak sesuram perjalanan mereka sebelumnya. Angga langsung berjongkok dan mencelupkan tangannya ke dalam air. “Akhirnya, sesuatu yang menyegarkan!” katanya dengan wajah penuh kepuasan.  

Zunaira menatap sungai dengan senyum kecil. “Setidaknya kita bisa istirahat sebentar di sini.”  

Daniel menghela napas panjang, lalu meregangkan tubuhnya. “Kita juga bisa pakai air ini buat minum dan cuci muka.”  

Tabitha mengangguk. “Bener. Siniin botol kalian, gue isiin airnya sekalian gue saring.”  

Mereka pun mulai sibuk dengan urusan masing-masing. Angga mencuci wajahnya, merasa segar setelah seharian berkeringat. Zunaira membasuh tangannya, sementara Tabitha dan Daniel mengisi botol minum dengan air sungai lalu mencoba menyaringnya sebelum diminum.  

Setelah beberapa menit istirahat, Daniel menatap sekitar. “Kita harus putusin ke mana setelah ini. Sungai ini mungkin bisa jadi petunjuk arah.”  

Zunaira yang duduk di atas batu memperhatikan aliran air. “Kalau menurut teori, sungai biasanya mengarah ke dataran yang lebih rendah. Kalau kita mengikuti arusnya, mungkin kita bisa keluar dari hutan ini.”  

Angga yang sudah berbaring di bebatuan langsung bangkit. “Setuju. Daripada balik ke hutan gelap tadi, mending kita ikutin sungai ini.”  

Tabitha juga setuju. “Tapi kita harus tetap hati-hati. Kita nggak tahu apa yang ada di depan sana.”  

Lihat selengkapnya