Sepeninggal Nyi Rengganis, hanya tersisa kekosongan di ruangan itu. Empat remaja itu berada dalam keadaan yang sangat membingungkan. Tabitha adalah orang yang pertama beranjak dari sana, memilih duduk di teras samping sambil menekuk lututnya, merenung dengan tangis. “Jadi, ini alasan kenapa Papi dan Mami nggak pernah mau membahas tentang kakek ataupun nenek?” Air matanya terus menetes dalam sedihnya yang mendalam.
Angga menepi, dia memilih menjauh dari teman-temannya dan duduk di sudut ruangan. Angga menatap foto lusuh itu, terlihat empat orang ilmuwan hebat yang sedang tersenyum lebar dengan jas putih kebanggaannya. “Kek… apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Ayah nggak pernah cerita sejauh ini?”
Sama halnya juga Daniel, dia keluar rumah, duduk di dekat pintu. Tatapannya kosong, mencoba memahami semua yang baru dia dengar. “Jadi, ini alasan kenapa Oma nggak pernah mau membahas tentang Opa? Apa Oma menolak eksperimen ini?”
Zunaira menatap api kecil di lentera yang bergoyang pelan. Dalam pikirannya, ribuan teori berputar, mencoba menyusun kepingan-kepingan yang baru saja mereka dengar. “Eksperimen itu... apakah benar ada sesuatu yang masih tersisa?”
Tabitha masih terisak pelan di teras, suaranya hampir tertelan dalam sunyi malam. Angga menghela napas panjang, masih menatap foto lusuh itu. Wajah kakeknya yang samar di dalam foto terasa lebih asing dari sebelumnya. Daniel meremas kedua tangannya, merasa ada sesuatu yang lebih besar dari yang bisa mereka bayangkan.
"Gue nggak ngerti..." suara Zunaira akhirnya terdengar, lirih tapi tajam. "Kalau eksperimen itu benar-benar seburuk yang Nyi Rengganis bilang... kenapa semua menyembunyikannya dari kita? Kenapa nggak ada satu pun yang bicara tentang ini?"
"Tunggu." Daniel tiba-tiba mengangkat wajahnya. "Nyi bilang... orang yang tersesat di hutan itu nggak selalu kembali dalam keadaan yang sama."
Angga mengangkat wajahnya, mentak Daniel yang lumayan berjarak darinya, ekspresinya berubah. "Maksud lo...?"
Daniel menelan ludah, pikirannya berlari. "Gue cuma kepikiran satu hal. Kalau bener ada sesuatu yang diciptakan dalam eksperimen itu... bisa jadi, kita juga bagian dari eksperimen itu."
Keheningan menelan mereka. Tabitha langsung menggeleng. "Lo bercanda, kan?"
"Tapi masuk akal," gumam Zunaira. "Kalau memang ada sesuatu yang tersisa dari eksperimen itu, dan kalau benar keluarga kita terlibat... siapa yang bisa menjamin kalau kita bukan bagian dari itu juga?"
Angga merasakan sesuatu yang dingin menjalari punggungnya. Tiba-tiba, foto di tangannya terasa lebih berat. Seakan ada sesuatu yang lebih dalam dari sekadar sejarah keluarga mereka.
Tabitha menyeka air matanya dengan kasar. "Gue nggak mau jadi bagian dari eksperimen apa pun. Gue cuma... gue cuma mau tahu kenapa mereka semua menghilang, dan kenapa kita nggak pernah dikasih tahu apa pun!"
Daniel menggertakkan giginya. "Satu-satunya cara buat tahu kebenarannya..."
Zunaira menatapnya, membaca pikirannya.
"...adalah kembali ke hutan dan mencari laboratorium itu."
Mereka semua membeku.
Angga menelan ludah. "Gila lo. Kita baru aja hampir nggak bisa keluar hidup-hidup dari sana."
Daniel berdiri, matanya penuh tekad. "Tapi kita juga nggak bisa tinggal diam. Gue nggak tahu kalian, tapi gue mau tahu kebenarannya."
Zunaira menarik napas dalam. Rasanya ada sesuatu yang memanggil mereka kembali ke hutan itu.
Tabitha menggigit bibirnya, lalu berdiri dengan ragu. "Ini gila..."
"Tapi ini satu-satunya jalan," sahut Zunaira.