Angga melangkah mantap di depan, matanya tajam menelisik setiap arah. Sore itu, sinar matahari mulai meredup, menyusup di antara dedaunan rimbun. Dia mendengar segalanya—desir angin, gesekan ranting, bahkan detak jantung teman-temannya yang sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Lo kenapa sih, nggak pernah cerita ke kita kalau lo punya resonansi tinggi terhadap suara walau berjarak jauh, Ngga?” tanya Daniel di tengah keheningan mereka.
Mendengar pertanyaan Daniel, Angga hanya mendengus kecil tanpa menoleh. "Nggak penting," jawabnya singkat.
Daniel mengerutkan kening. "Nggak penting gimana? Lo bisa tahu kalau ada yang ngikutin kita atau nggak. Itu penting banget, kan?"
"Justru karena itu," sahut Angga, masih dengan nada tenang. "Gue nggak mau kelebihan gue dianggap aneh sama orang lain."
“Maksud lo? Gue kenal lo udah hampir 5 tahun, dan lo masih mikir gue orang lain, Ngga?!” kata Daniel setengah berteriak. Jujurly, dia kesal.
Tabitha yang berjalan di tengah ikut menimpali, suaranya terdengar penasaran. "Tunggu, jadi selama ini Angga bisa dengar suara dari jauh banget?"
Angga mengangkat bahu. "Tergantung, sih. Kalau gue fokus, suara paling lemah pun bisa gue denger. Tapi, kemampuan itu hilang kalau gelap melanda."
Zunaira, yang sedari tadi diam, akhirnya buka suara. "Itu luar biasa. Tapi juga bisa jadi masalah buat lo, kan?"
Angga tersenyum kecil, tapi tidak menjawab. Tentu saja itu bisa jadi masalah. Suara-suara yang terlalu banyak, terlalu berisik, kadang bikin kepalanya nyaris meledak.
Tiba-tiba, dia berhenti mendadak.
Tabitha hampir menabraknya. "Eh, kenapa berhenti?"
"Ssst," Angga mengangkat tangannya, memberi isyarat diam. Matanya menyipit, telinganya menangkap sesuatu di kejauhan.
Tabitha menahan napas, Zunaira langsung merapatkan jaketnya. Hutan di sekitar mereka mendadak terasa lebih sunyi. Terlalu sunyi.
Angga menggerakkan kepalanya ke samping, mencoba mendengar lebih jelas. Ada sesuatu… bukan, ada seorang.
"Lima ratus meter di belakang kita," bisiknya pelan. "Ada seseorang... atau sesuatu... yang mengikuti kita.”
Tanpa membuang waktu, Angga berbisik, "Kita harus cepat. Gue nggak yakin apa itu orang atau... sesuatu yang lain."
Daniel menegakkan bahu, matanya menatap tajam ke arah depan. "Kalau ada yang ngikutin, kita hadapin aja."
"Nggak!" potong Angga cepat. "Kita nggak tahu apa yang kita hadapi. Lebih baik sampai di air terjun dulu sebelum mereka mengejar kita."
Zunaira merapatkan ranselnya, wajahnya mulai pucat, entah karena tekanan darah rendahnya atau karena rasa cemas yang merambat di udara. "Gue... gue bisa lari, kok," katanya, meskipun suaranya terdengar lemah.