Ukiran di pintu itu tampak seperti pola biologis kompleks, menyerupai tahapan mitosis dan meiosis yang biasa mereka pelajari di sekolah—proses pembelahan sel yang berperan dalam pertumbuhan dan reproduksi. Lingkaran-lingkaran kecil, garis-garis bercabang, serta pola simetris memenuhi permukaan pintu bercahaya itu, memancarkan cahaya lembut yang berubah-ubah intensitasnya.
Angga melirik ke arah Zunaira yang berdiri di sampingnya. “Lo bisa ini, kan, Nai?” suaranya terdengar pelan tapi penuh harapan. Bukan karena dia tak bisa, tapi dia sedang rentan yang membuatnya sulit berkonsentrasi.
Zunaira mengangguk tanpa ragu. “Gue coba,” jawabnya singkat, matanya sudah terpaku pada pola rumit di pintu itu. Dia sedikit maju, mendekati permukaan pintu bercahaya tersebut. Tangannya terulur, mengusap pelan ukiran-ukiran itu, meskipun cahaya yang dipancarkan sesekali terlalu terang, membuat matanya menyipit dan sulit fokus.
Zunaira mulai meraba satu per satu pola yang familiar. Dalam pikirannya, dia memvisualisasikan kembali pelajaran tentang mitosis dan meiosis, mencoba mengingat urutan-urutan penting yang mungkin menjadi kunci untuk membuka pintu ini. Setiap detail terlintas di benaknya dengan jelas, seolah-olah dia sedang membaca ulang buku pelajaran yang pernah disentuhnya.
“Ini kayak tahapan pembelahan sel,” gumam Zunaira, lebih kepada dirinya sendiri. “Tapi… ada yang nggak pas.”
Daniel, yang berdiri di belakangnya, mendekat. “Maksud lo?”
Zunaira berhenti sejenak, jarinya masih menempel di ukiran berbentuk kromosom. “Kayaknya ada bagian yang hilang atau salah urutan. Harusnya, setelah anafase, ada telofase... tapi di sini malah balik ke profase. Ini nggak masuk akal.”
Tabitha, meski masih memegang lengan Angga, ikut memperhatikan. “Mungkin itu kode buat kita. Bagian yang hilang itu harus kita lengkapi?”
Zunaira mengangguk, matanya berbinar karena mulai memahami teka-teki ini. “Iya, kita harus geser atau nyusun ulang tahapan ini.”
Angga, meski masih terlihat gelisah karena gelap yang mengintai di sudut-sudut lorong, mencoba untuk tetap fokus. “Coba cari pola yang sesuai. Mungkin kita bisa pakai kunci dari Nyi Rengganis pas semua tahapannya bener.”
Daniel maju membantu Zunaira menggeser batu-batu kecil di sekitar ukiran, menyesuaikan dengan urutan yang benar berdasarkan ingatan Zunaira tentang proses biologis tersebut. Setiap geseran menghasilkan bunyi klik lembut, tanda bahwa mereka berada di jalur yang benar.
Akhirnya, setelah geseran terakhir selesai dan pola pembelahan sel terlihat sempurna, Zunaira melangkah mundur. Angga mengeluarkan kunci dari kantongnya, menatap pintu bercahaya itu dengan napas tertahan.
“Sekarang atau nggak sama sekali,” bisiknya, sebelum akhirnya memasukkan kunci itu ke dalam celah di tengah pintu.
***
Begitu mereka melangkah masuk, suasana berubah drastis. Di balik pintu bercahaya itu, terhampar sebuah laboratorium penelitian yang tampak usang namun masih kokoh, seakan waktu telah membekukan kejayaannya. Cahaya temaram dari lampu-lampu antik yang tergantung di langit-langit menerangi ruangan luas itu, memantulkan bayangan alat-alat besar yang tersusun rapi meski sudah usang.