Darius melangkah maju, suaranya bergema di dalam lab yang temaram dan berdebu. "Hai, Aringga Biantara," sapanya dengan senyum yang penuh dengan aura mengancam, bibirnya terangkat sedikit seolah menikmati ketegangan yang merambat di udara.
Angga langsung refleks mundur beberapa langkah, matanya tajam menatap pria itu. Dia merapat ke arah Daniel yang sudah berdiri protektif di depan Tabitha dan Zunaira, menutupi mereka dengan tubuhnya. "Mau apa lo ke sini?" suara Angga terdengar rendah namun penuh ketegasan, meski detak jantungnya berpacu cepat.
Darius hanya tertawa pelan, suara tawanya bergema menakutkan di dinding-dinding lab tua itu. "Mau apa? Hmm… nggak mungkin lo nggak tau, Angga. Kalian pikir eksperimen itu benar-benar gagal?" Matanya menyipit, memancarkan kebencian yang mendalam.
Sebelum Angga sempat membalas, Darius melambaikan tangan ke arah anak buahnya, empat pria berbadan besar dengan wajah dingin dan mata penuh niat jahat melangkah maju. "Sekap mereka," perintah Darius dengan suara datar namun mematikan.
Angga dan Daniel langsung bereaksi. Angga melesat ke depan, menyerang pria pertama dengan pukulan lurus ke rahang. Pria itu terhuyung mundur, tapi tubuh besar dan otot-ototnya membuatnya cepat pulih. Angga menghindari serangan balasan dengan cekatan, menunduk dan memutar tubuh, menghantamkan sikunya ke rusuk pria itu, membuatnya terbatuk keras.
Di sisi lain, Daniel berhadapan dengan dua pria sekaligus. Salah satu dari mereka mencoba menerkamnya, tapi Daniel dengan sigap menangkap lengan pria itu, memutarnya, dan melemparnya ke rak alat-alat lab, membuat tabung-tabung kaca pecah berserakan. Namun, pria kedua menyerang dari belakang, melingkarkan lengannya yang besar di leher Daniel, mencoba mencekiknya. Daniel menggertakkan gigi, menahan napas, lalu dengan satu gerakan tajam, dia menghantamkan kepalanya ke wajah pria itu, membuatnya terlepas dengan erangan kesakitan.
Tabitha dan Zunaira berusaha menjauh, tapi salah satu anak buah Darius mendekati mereka. Zunaira, dengan cepat mengambil tabung kaca dari meja, memecahkannya, dan mengacungkannya ke arah pria itu. "Mundur!" teriaknya, matanya menatap tajam. Pria itu terhenti sesaat, tidak menyangka gadis itu akan melawan.
Sementara itu, Angga masih bertarung sengit. Salah satu pria berhasil mendorongnya hingga menabrak meja, tapi Angga bangkit dengan cepat, mengambil kursi kayu terdekat dan menghantamkannya ke punggung pria itu, membuatnya jatuh terjerembab.
Daniel, meskipun lelah, terus melawan. Dengan tinju terakhir yang penuh tenaga, dia menghantam wajah pria yang mencoba bangkit dari pecahan kaca, membuatnya pingsan seketika.
Namun, mereka tahu ini tidak akan bertahan lama. Tenaga mereka mulai terkuras, sedangkan Darius masih berdiri tegak dengan senyum kemenangan di wajahnya. "Kalian pikir bisa melawan selamanya?" katanya sambil melangkah mendekat, tatapan matanya penuh dengan ancaman.
Angga dan Daniel saling bertukar pandang. Mereka tahu, mereka harus menemukan cara lain sebelum semuanya terlambat.
Aksi Angga dan Daniel terhenti seketika saat mendengar suara lirih dari belakang mereka.
"Jangan bergerak," suara berat itu terdengar tajam, mengiris udara dengan ketegangan yang mematikan.
Mata mereka melebar saat berbalik dan melihatnya—Tabitha dan Zunaira dalam cengkeraman yang mengerikan.
Seorang anak buah Darius, pria bertubuh besar dengan tangan kekar, menarik tubuh Tabitha ke belakang, menempelkan pisau tajam di bawah dagunya. Sedangkan Darius sendiri berdiri dengan angkuh, lengannya mengunci tubuh Zunaira, ujung pisau di tangannya melayang tepat di sisi leher gadis itu.
Tubuh Zunaira menegang, tapi dia berusaha tetap tenang. Tabitha pun mencoba mengatur napasnya meskipun tubuhnya sedikit gemetar.
"Turunkan tangan kalian," perintah Darius dengan suara rendah, tapi tegas.
Angga mengepalkan tinjunya, matanya penuh kemarahan. Daniel, yang masih berdiri tegap dengan napas terengah-engah, menoleh pada Angga, seakan meminta keputusan. Tapi dengan satu tatapan ke arah pisau yang terhunus di leher kedua gadis itu, pilihan mereka jelas.
Pelan-pelan, Angga dan Daniel mengendurkan kuda-kuda mereka, tangan mereka terangkat sebagai tanda menyerah.
Darius menyeringai puas. "Pintar. Kalian anak-anak yang cukup cerdas untuk tahu kapan harus berhenti."
Salah satu anak buah Darius segera datang, menarik tangan Angga ke belakang dengan kasar, memborgolnya dengan tali plastik kuat. Daniel pun mengalami hal yang sama.
"Dasar pengecut!" geram Angga, rahangnya mengeras saat tubuhnya dipaksa berlutut di lantai laboratorium yang dingin.
Darius hanya terkekeh. "Pengecut? Tidak, Angga. Ini namanya strategi. Dan sekarang… kita akan mengambil kembali apa yang seharusnya menjadi milik kita."
Darius mengangkat tangannya, memberi isyarat pada anak buahnya. Mereka membawa empat remaja itu ke sebuah ruangan kecil lain. Mengunci mereka di dalam sana.
***