Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #26

Di Ambang Kebimbangan

Saat menggeledah laboratorium, Darius menemukan sebuah brankas kecil yang tersembunyi di balik lemari tua yang hampir roboh. Debu dan sarang laba-laba menutupi permukaannya, menunjukkan bahwa benda itu sudah lama tidak tersentuh. Namun, yang lebih menarik perhatiannya adalah ukiran aneh di bagian atas brankas—sebuah pola rumit yang tampak seperti simbol atau kode tertentu.  

Darius menyipitkan mata, mencoba memahami maknanya, tetapi ukiran itu sama sekali asing baginya. Nyi Rengganis melangkah mendekat, menelusuri pola tersebut dengan jemarinya, tetapi dia pun tampak ragu.  

"Apa ini?" gumamnya.  

Darius mengetuk brankas itu dengan jari, merasakan materialnya yang kokoh. "Terkunci rapat," katanya dingin. "Kalau kita paksa buka, bisa-bisa isinya ikut hancur."  

Salah satu anak buahnya, yang masih mencari di sekitar ruangan, menyarankan, "Mungkin ada kunci atau kode di dalam laboratorium ini."  

Darius mendengus, lalu menoleh ke arah ruang tahanan tempat keempat remaja itu dikurung. Wajahnya kembali dipenuhi senyum licik.  

"Kita punya orang yang bisa memecahkan ini," katanya.  

Nyi Rengganis tersenyum samar, memahami maksud Darius. Tanpa menunggu lebih lama, mereka berdua melangkah keluar dari ruangan utama dan menuju tempat keempat remaja itu disekap.  

***  

Dalam keadaan mata tertutup dan tangan terikat, keempat remaja itu hanya bisa merasakan tubuh mereka digiring ke suatu tempat yang asing. Langkah kaki berat menggema di lantai dingin, dan udara di sekitar mereka terasa lembap serta penuh aroma logam—bau khas darah yang baru mengering.  

Begitu kain yang menutup mata mereka ditarik dengan kasar, pandangan mereka langsung disergap oleh pemandangan yang mengerikan. Arel dan Raden, ayah dari Angga dan Zunaira, terduduk lemah dengan tubuh penuh luka lebam. Nafas mereka tersengal, dada naik turun dengan susah payah, darah menetes dari sudut bibir mereka.  

Zunaira membeku sejenak sebelum kesadarannya tersentak. Matanya membelalak, dipenuhi ketakutan dan kepanikan yang tak terbendung.  

"AYAHHHH!!!"  

Teriakannya menggema di ruangan besar yang suram itu. Ia memberontak, tubuhnya meronta dengan sekuat tenaga, tetapi genggaman anak buah Darius begitu kuat, menahannya dengan kasar. Angga, yang berdiri di sampingnya, juga tersentak mundur selangkah, menatap ayahnya dengan sorot mata tak percaya.  

“Ayah?!” Suaranya bergetar, dipenuhi kepanikan.  

Daniel dan Tabitha ikut terpaku, tubuh mereka menegang saat menyaksikan dua pria itu berada di ujung tanduk. Raden mencoba mengangkat wajahnya yang penuh luka, menatap putrinya dengan mata yang masih menyala meski tubuhnya telah begitu lemah.  

Darius berjalan mendekat, tatapannya dingin dan penuh tekanan. Ia mengangkat sebelah tangannya, dan dalam sekejap, anak buahnya menempelkan pisau ke leher Arel dan Raden. Mata pisau itu berkilat di bawah cahaya temaram, siap menorehkan akhir bagi mereka kapan saja.  

"Buka brankas itu," suara Darius terdengar rendah, namun tajam bak sembilu. "Atau kalian bisa menyaksikan kematian mereka dengan mata kepala sendiri."  

Tabitha mengepalkan tangannya, jantungnya berdegup kencang. Ia melirik Daniel, yang wajahnya kini tampak jauh lebih pucat dari biasanya. Ini bukan sekadar ancaman. Darius benar-benar akan melakukannya.  

"Kalian hanya perlu membuka brankas itu," lanjut Darius, melangkah lebih dekat. "Dan mereka tetap hidup. Begitu saja."

Zunaira merasakan air mata panas menggenang di sudut matanya. Dadanya sesak. Jika mereka membuka brankas, entah apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi jika mereka tidak melakukannya...  

Angga menatap ayahnya, yang masih berusaha tersenyum meskipun jelas rasa sakit begitu menyiksanya. Dengan suara parau, Arel berbisik, "Jangan lakukan, Nak... Jangan..."  

Tapi bisikan itu terlalu pelan untuk menembus kebingungan yang melanda mereka.  

Darius mendengus, kehilangan kesabaran. Ia memberi isyarat dengan matanya, dan anak buahnya menekan pisau lebih dalam ke leher Raden. Setetes darah mulai menetes dari goresan kecil di kulitnya.  

“SINI BIAR GUE BUKA!!" suara Zunaira pecah dalam kepanikan. "Tolong jangan sakiti mereka!!” 

Darius tersenyum tipis. "Pilihan yang bijak, anak cantik. Sekarang, tunjukkan bahwa kalian memang berharga buat gue."

***

Ketegangan semakin memuncak. Empat remaja itu kini terduduk di lantai dingin, tepat di hadapan brankas misterius yang menyimpan sesuatu yang sangat berharga—atau berbahaya.  

Tatapan mereka beralih ke deretan simbol di permukaan brankas. Itu bukan sekadar angka atau huruf biasa. Pola-pola aneh itu membentuk tulisan Sansekerta Kuno, bahasa yang hanya bisa dipahami oleh satu orang di antara mereka.  

Tabitha.

Ketiganya menoleh serentak ke arahnya. Daniel, Angga, dan Zunaira menatap Tabitha dengan sorot mata penuh harap sekaligus cemas. Mereka tahu hanya dia yang bisa membaca kode itu.  

Namun, Tabitha tak bergeming. Bibirnya terkatup rapat, pikirannya bergejolak hebat. Ia bisa membaca kode itu, memecahkannya, dan membuka brankas dalam hitungan detik. Tapi... apakah ia benar-benar ingin melakukannya?  

Di satu sisi...

Jika ia membuka brankas ini, tidak ada jaminan bahwa Darius akan menepati janjinya. Tabitha tahu betul bahwa pria itu bukan tipe yang bisa dipercaya. Brankas ini pasti menyimpan sesuatu yang sangat berharga—sesuatu yang bisa memberi Darius kekuatan lebih besar. Mungkin itu hasil eksperimen berbahaya, atau mungkin itu kunci dari sesuatu yang lebih mengerikan. Jika Darius mendapatkan isinya, berapa banyak orang yang akan menjadi korban selanjutnya? 

Lihat selengkapnya