Siang itu, sekolah masih cukup ramai. Suara murid-murid berlarian di lorong, beberapa guru sibuk berbincang di kantor, sementara lonceng pergantian jam pelajaran sesekali berdentang.
Di ruang kepala sekolah, dua wanita berdiri dengan ekspresi penuh kekhawatiran.
Rinjani dan Adeline.
Mereka datang ke sekolah untuk menanyakan studi camp yang disebut anak-anak mereka sebagai persiapan lomba.
Namun, jawaban yang mereka dapat justru mengejutkan.
"Mohon maaf, Ibu-ibu," ujar Pak Kusworo, sang kepala sekolah, dengan raut wajah yang tak kalah cemas. "Kami sendiri juga sedang kebingungan soal keberadaan Zunaira, Tabitha, Aringga, dan Daniel."
Adeline dan Rinjani saling berpandangan, dada mereka semakin sesak.
"Maksud Bapak?" Rinjani mencoba memastikan.
"Sejak tiga hari lalu, mereka tidak masuk sekolah tanpa izin atau alasan jelas."
Hening.
Adeline menghela napas panjang.
Tiga hari?
Jantungnya berdetak lebih cepat, tangan yang memegang tasnya semakin erat.
"Dan kehadiran Ibu-Ibu di sini justru membuat kami semakin bingung," lanjut Pak Kusworo. "Kami pikir kalian sudah tahu alasan mereka tidak masuk."
Rinjani langsung menggeleng. "Kami justru mencarinya, Pak," suaranya terdengar berat.
Tanpa banyak bicara lagi, mereka segera meninggalkan ruang kepala sekolah dan melangkah menuju parkiran. Namun, di sanalah seseorang menghentikan langkah mereka.
"Apa benar dengan Ibunda dari Tabitha dan Zunaira?"
Seorang wanita berdiri di hadapan mereka, dengan sorot mata tajam dan sikap yang begitu percaya diri. Wanita itu adalah Luna.
Rinjani langsung waspada. "Siapa Anda?" tanyanya cepat.
Luna menghela napas, lalu berkata dengan suara yang tenang tetapi penuh urgensi. "Saya tahu sesuatu tentang anak-anak kalian. Jika kalian ingin tahu lebih jauh, ikutlah dengan saya."
Tatapan mereka bertemu. Ada ketegangan dalam udara.
Rinjani dan Adeline saling pandang. Mereka tahu bahwa wanita ini bukan orang biasa.
“Luna?” lirih Adeline yang berada di sebelah Rinjani.
Luna terkejut, lalu tersenyum membalas. “Salam kenal, Adeline. Sudah lama tidak berjumpa denganmu.” Luna mengulurkan tangannya.
Dengan yakin Adeline menerima uluran tangan itu. “Rinjani, ini Aluna Denaia. Designer terkenal yang pastinya kamu juga tahu tentangnya,” kata Adeline memperkenalkannya pada Rinjani. “Dia juga, ibunda dari Aringga.”
“Saya Rinjani, salam kenal Bu Luna.” Akhirnya, Rinjani pun ikut menyalami Luna dengan baik.
“Luna saja, kita semua seumuran di sini.”
Setelah perkenalan singkat itu, mereka bertiga segera mengikuti kemana Luna membawa mereka meninggalkan sekolah.
***
Begitu sampai di rumah Luna, mereka langsung disambut oleh seorang wanita lain yang sudah menunggu di dalam.
Raina.
Adeline dan Rinjani berhenti di ambang pintu, mengamati wanita itu dengan penuh selidik.
"Ini...?" Rinjani mengernyit.
"Saya Raina," wanita itu memperkenalkan diri dengan tatapan serius. "Ibunya Daniel."
Saat itu juga, dada Adeline semakin sesak. Jika ibu Daniel juga ada di sini, berarti mereka semua memiliki kecemasan yang sama. Tanpa banyak basa-basi, Luna mengajak mereka masuk ke ruang kerjanya. Ruangan itu luas, dipenuhi berbagai dokumen dan peta yang tertempel di dinding. Rinjani dan Adeline bertukar pandang. Ada sesuatu yang aneh. Luna bukan sekadar ibu biasa.
Dan tebakan mereka benar.
Begitu mereka duduk, Luna langsung memulai pembicaraan dengan nada serius.