Angga masih duduk di tepi ranjang rumah sakit, wajahnya pucat dan keringat dingin membasahi pelipisnya. Luka-luka di tubuhnya sudah mulai ditangani, tapi rasa nyeri yang menyebar di sekujur tubuhnya membuatnya sulit bergerak dengan bebas. Ia menoleh ke samping, melihat Tabitha yang masih terbaring dengan wajah pucat. Tangannya yang diperban tergeletak di atas selimut, dan napasnya naik turun dengan teratur meskipun masih lemah.
Adeline duduk di sisi ranjang, jemarinya menggenggam erat tangan putrinya yang dingin. Matanya berkaca-kaca, mencerminkan ketakutan yang baru saja ia lalui. Sambil mengusap lembut kepala Tabitha, ia mencoba menahan air mata yang hampir jatuh.
"Aringga...?" suara Adeline lembut, hampir berbisik, tapi cukup jelas untuk didengar Angga yang sedang berusaha menahan rasa sakit di bahunya yang terluka.
Angga mengangkat wajahnya dengan sedikit meringis. "Iya, Tante?"
Adeline menatapnya dalam-dalam, ada ribuan emosi yang berputar di sana—rasa terima kasih, kesedihan, sekaligus kelegaan. "Terima kasih... sudah sejauh ini menjaga anak saya..."
Angga terdiam. Tenggorokannya terasa kering. Ia menatap Tabitha yang masih tertidur, mengingat kembali bagaimana gadis itu menahan sakit ketika tangannya dipaksa membuka brankas, bagaimana darah mengalir dari lengannya, bagaimana ia tetap bertahan meskipun tubuhnya hampir runtuh.
"Saya cuma..." suara Angga sedikit bergetar, lalu ia menelan ludah. "Saya cuma nggak mau ada yang nyakitin dia, Tante..."
Adeline menarik napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Ia mengangguk pelan, memahami perasaan pemuda itu. Lalu, dengan suara yang lebih tenang, ia berkata, "Saya bisa lihat, kamu bukan sekadar teman untuk Tabitha... Kamu benar-benar peduli padanya."
Angga terdiam, tidak menjawab. Bukan karena tidak ingin, tapi karena rasanya tidak ada kata-kata yang cukup untuk menjelaskan semua yang telah terjadi. Ia hanya menundukkan kepalanya, berusaha menyembunyikan matanya yang mulai memanas.
Adeline tersenyum kecil, meskipun masih ada kesedihan dalam sorot matanya. "Istirahatlah dulu, Aringga. Kalian sudah cukup banyak melewati hal buruk hari ini..."
Angga mengangguk pelan, lalu kembali menoleh ke Tabitha. Tangannya refleks tergerak, ingin menyentuh jemari gadis itu, memastikan ia benar-benar ada di sana—selamat. Namun, sebelum ia bisa melakukannya, perawat datang untuk memeriksa kondisi mereka.
Adeline pun mengusap lembut kepala putrinya sekali lagi, sebelum beranjak ke kursi terdekat. Ia tahu, ada banyak pertanyaan yang harus ia tanyakan pada Tabitha nanti. Tapi untuk sekarang, yang paling penting adalah mereka semua selamat.
***
Daniel duduk di atas ranjang rumah sakit, kepalanya bersandar pada sandaran empuk di belakangnya. Rasa perih masih terasa di sudut bibirnya yang pecah, sementara lebam di pipi dan rahangnya mulai membiru. Beberapa perban kecil melapisi luka-luka di tangannya akibat perkelahian tadi.
Di seberangnya, Raina duduk diam, matanya tak pernah lepas dari wajah putranya. Sorot matanya penuh dengan penyesalan, seakan-akan ia sedang melihat kembali tahun-tahun yang terlewat begitu saja. Lima tahun. Waktu yang terlalu lama untuk seorang ibu dan anak terpisah tanpa kabar yang cukup.
Daniel menelan ludah. Entah mengapa, kehadiran mamanya setelah sekian lama terasa lebih sulit diterima daripada yang ia bayangkan. Bukan karena ia marah, tapi karena terlalu banyak emosi yang berputar di kepalanya, terlalu banyak hal yang ingin ia katakan, tapi semuanya terasa menggumpal di tenggorokan.
"Maaf..."
Kata itu keluar bersamaan dari bibir mereka berdua.