Di depan ruang operasi, suasana terasa begitu mencekam. Cahaya lampu di atas pintu yang bertuliskan "RUANG OPERASI" masih menyala merah, menandakan bahwa tim dokter masih berjuang menyelamatkan nyawa Raden di dalam sana.
Rinjani berdiri dengan tubuh gemetar, tangannya berusaha mencengkeram sesuatu untuk tetap kuat, tapi justru yang ia temukan adalah tubuh mungil Zunaira yang sudah lebih dulu menubruknya dalam pelukan erat. Putrinya menangis terisak di dadanya, bahunya bergetar hebat.
"Bun… A-Ayah nggak apa-apa, kan?" Suara Zunaira pecah di antara sesenggukannya.
Rinjani ingin menjawab, ingin meyakinkan putrinya bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi tenggorokannya terasa kering, seakan tak sanggup mengeluarkan satu kata pun. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh, membasahi rambut putrinya.
"Dokter pasti bisa menyelamatkan Ayah, kan, Bun?" suara Zunaira semakin lirih, penuh ketakutan. "A-Ayah kuat… Ayah pasti bertahan…"
Rinjani menutup mata erat, tangannya semakin mempererat pelukan pada putrinya. "Iya, Nak… Ayah kuat… Ayah pasti bertahan…" Tapi suaranya nyaris tak terdengar, bahkan baginya sendiri terdengar lebih seperti doa yang putus-putus.
Beberapa waktu kemudian, Daniel datang bersama Raina. Laki-laki itu menghampiri Zunaira yang baru saja melepas pelukannya dari sang ibu. Raina duduk di sebelah Rinjani, mengusap bahunya seolah memberikan energi positif dengan raut wajah meyakinkan.
Rinjani mengusap air matanya yang masih menggenang di pelupuk mata. Dia menoleh ke arah Daniel yang berdiri di samping Zunaira, tampak sedikit canggung namun penuh perhatian.
"Tante, saya izin ajak Neya makan dulu ya?" ujar Daniel dengan nada lembut. Zunaira yang sejak tadi menunduk langsung menoleh ke arah Daniel, seakan baru menyadari kehadirannya.
"Iya, Daniel... ajak Neya makan dulu. Dia belum makan apa-apa sejak tadi."
Zunaira menoleh ke ibunya dengan ragu. "Tapi, Bun..."
Rinjani mengusap rambut putrinya dengan lembut. "Kamu juga harus jaga kesehatan, Sayang. Ayah pasti nggak mau liat kamu sakit karena terlalu cemas. Makan dulu ya, kalau ada apa-apa, Ibun kabarin."
Zunaira akhirnya mengangguk pelan. Ia tahu ibunya juga butuh waktu sendiri untuk menenangkan diri. Dengan langkah ragu, ia mengikuti Daniel menuju kantin rumah sakit. Di sepanjang lorong, mereka berjalan dalam diam. Suasana rumah sakit yang sepi di malam hari membuat langkah mereka terdengar jelas. Daniel melirik Zunaira yang terus menunduk, wajahnya masih dipenuhi kekhawatiran.
"Lo harus makan, Ney. Percuma khawatir kalau lo sendiri malah tumbang nanti," kata Daniel lembut.
Zunaira mendesah pelan. "Gue tahu, tapi... gue takut, Niel. Gue takut Ayah nggak selamat..."
Daniel menghentikan langkahnya dan menatap Zunaira dengan serius. "Om Raden itu orang yang kuat, Neya. Gue yakin beliau pasti bisa melewati ini."
Zunaira mengangkat kepalanya, menatap Daniel yang tersenyum kecil, berusaha menenangkan. Ada sesuatu dalam tatapan Daniel yang membuat hatinya sedikit lebih ringan. "Iya," gumamnya pelan. "Kita ke kantin."
Daniel mengangguk. "Itu baru Neya yang gue kenal."
Mereka kembali melangkah menuju kantin, meninggalkan lorong rumah sakit yang sunyi. Sementara itu, di depan ruang operasi, Rinjani masih menggenggam tangannya sendiri, berdoa dalam hati agar suaminya selamat.
***
Pintu ruang operasi terbuka perlahan. Seorang dokter keluar dengan langkah berat, wajahnya tampak lelah dan penuh penyesalan. Masker yang masih tergantung di lehernya sedikit bergetar saat ia menghela napas panjang.
Rinjani dan Raina langsung berdiri, menunggu dengan cemas. Hati mereka berdegup kencang, berharap-harap cemas akan kabar yang akan keluar dari mulut dokter itu.
"Dok, bagaimana suami saya?" suara Rinjani gemetar, tangannya mengepal erat di depan dada.
Dokter menundukkan kepala, matanya dipenuhi kesedihan. "Maaf, Bu... Kami sudah melakukan yang terbaik, tapi luka di leher Pak Raden terlalu parah. Sayatan itu mengenai pembuluh darah utama, dan kehilangan darah yang terlalu banyak membuat kami tidak bisa menyelamatkannya..."
Hening.
Sepersekian detik, dunia terasa berhenti berputar.
Rinjani menatap dokter itu dengan mata kosong, seolah tidak bisa memahami kata-kata yang baru saja didengarnya. Bibirnya bergetar, kakinya terasa lemas. Raina yang berdiri di sampingnya pun menutup mulut dengan kedua tangannya, menahan isak yang mulai pecah.
"Nggak... nggak mungkin..." suara Rinjani bergetar, tubuhnya mulai goyah.
"Bu, mohon tenang—"
"SUAMI SAYA NGGAK MUNGKIN NINGGALIN SAYA DOK!!!"