Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #31

Nyatanya, Ikhlas Tak Semudah Itu Ya?

"Kehilangan bukan hanya tentang kepergian seseorang, tapi juga tentang bagian dari diri kita yang ikut hilang bersamanya."

Di kamar yang temaram, suasana begitu sunyi. Hanya suara napas berat Zunaira dan desahan pelan Daniel yang terdengar. Hujan gerimis di luar jendela menambah kesan muram, seolah dunia pun ikut berduka bersama gadis itu. Meski begitu, suara kendaraan lalu lalang tetap terdengar, begitu banyaknya orang yang sayang pada ayahnya sampai ramai tamu datang melayat.

Zunaira duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya menggenggam ujung selimut dengan erat. Matanya sudah terlalu lelah untuk menangis, tapi kesedihan tetap menggantung di dadanya, menyisakan ruang kosong yang terasa mustahil untuk diisi kembali.

Daniel masih setia duduk di sampingnya, tidak berbicara apa pun. Ia hanya menunggu, memberi Zunaira ruang untuk berbicara atau sekadar menghela napas panjang.

“Ayah gue…” suara Zunaira bergetar, bibirnya gemetar menahan tangis yang ingin pecah lagi. “Gue selalu berpikir dia nggak akan pernah pergi. Gue pikir… dia akan selalu ada, kayak dulu…”

Daniel menarik napas dalam, mencari kata-kata yang tepat. “Gue nggak akan bilang kalau semuanya bakal baik-baik aja dalam waktu dekat, Ney. Karena kenyataannya… kehilangan itu memang nyakitin.”

Zunaira menatap lurus ke depan, matanya kosong. “Gue nggak siap, Niel. Gue bahkan nggak bisa ngebayangin hidup tanpa ayah.”

Daniel menggeser duduknya, sedikit lebih dekat. “Nggak ada yang pernah benar-benar siap kehilangan seseorang yang mereka sayang.” Ia menatap gadis itu, menunggu Zunaira menoleh padanya. “Tapi yang jelas, lo nggak sendirian.”

Zunaira akhirnya menoleh, menatap Daniel dengan mata yang masih dipenuhi air mata. “Lo tau, Niel? Ayah gue tuh segalanya buat gue. Dia guru gue, dia tempat gue cerita, dia orang yang selalu bilang kalau gue bisa nglakuin apa pun.”

Daniel tersenyum tipis, penuh kesedihan. “Dan lo bisa, Ney. Lo bisa ngelaluin ini.”

“Tapi gimana kalau gue nggak mau?” suara Zunaira hampir seperti bisikan. “Gimana kalau gue mau nyerah aja? Gue capek, Niel.”

Daniel menghela napas panjang sebelum menjawab dengan suara pelan, tapi penuh keyakinan. “Kalau lo capek, istirahat Ney. Kalau lo mau nangis, nangis aja. Tapi jangan pernah bilang lo mau nyerah.”

Zunaira terdiam, air matanya jatuh satu per satu. Daniel menggenggam tangannya perlahan, memberi kehangatan yang tak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

“Gue ada di sini, Ney. Lo nggak sendirian.”

Untuk pertama kalinya sore itu, meski air mata masih terus mengalir, Zunaira merasakan sesuatu yang sedikit berbeda. Mungkin benar… dia tidak sendirian.

***

Di sisi lain, di kamar Zara, suasana tidak kalah memilukan.

Zara duduk di sudut tempat tidurnya, tubuhnya membungkuk dengan lutut ditarik ke dada, kepalanya tertunduk dalam. Sejak tiba di rumah tadi, ia hampir tidak berkata apa-apa. Zara belum mau keluar kamar meski suasana rumahnya penuh tamu datang melayat. Matanya sembab, napasnya berat, dan tangannya terus menggenggam erat boneka kesayangannya—satu-satunya benda yang bisa memberinya sedikit rasa nyaman.

Di sebelahnya, Tabitha duduk dengan sabar, menatap gadis kecil itu dengan hati yang ikut nyeri. Ia tahu, kehilangan ini terlalu berat, terlebih bagi Zara yang bahkan tidak bisa melihat ayahnya untuk terakhir kalinya.

"Zara..." suara Tabitha lirih, lembut seperti bisikan.

Zara tidak menjawab, hanya menunduk semakin dalam.

Lihat selengkapnya