Sebuah ruangan yang hanya diterangi lampu redup itu terasa begitu tegang. Di dalamnya, duduk beberapa orang yang berkumpul dalam keheningan. Komisaris Bram dan Inspektur Ryan berada di ujung meja, sementara di sekelilingnya ada Arel, Edric, dan Azhari—para ayah yang selama ini berusaha menguak kebenaran tentang eksperimen yang tersembunyi. Tepat di seberang mereka, duduk Tabitha, Angga, Daniel, dan Zunaira, keempat anak yang menjadi bagian tak terpisahkan dari teka-teki besar ini.
Di tengah meja panjang, sebuah brankas besi yang selama ini terkubur dalam sejarah kini berdiri kokoh, siap untuk dibuka.
Komisaris Bram melirik Inspektur Ryan sebelum berbicara. "Kalian semua sudah melewati tahap wawancara sebagai saksi, dan sejauh ini laporan kalian cukup membantu dalam menyusun benang merah dari kasus ini." Ia menatap wajah-wajah yang kelelahan, terutama para remaja yang masih membawa beban kehilangan di mata mereka. "Tapi satu hal yang belum kita ketahui... adalah isi dari brankas ini."
Inspektur Ryan menambahkan, "Kami sudah berusaha membukanya, tetapi sistem keamanannya jauh lebih rumit. Ini bukan brankas biasa. Ada kode unik yang harus dimasukkan, kemungkinan besar hanya diketahui oleh orang-orang yang dulu bekerja di dalam laboratorium itu."
Suasana semakin mencekam ketika Inspektur Ryan menatap mereka semua dengan serius. "Kita harus segera membuka ini dan melihat apa yang ada di dalamnya."
Semua mata otomatis beralih ke Tabitha. Tidak perlu ada yang berbicara. Mereka semua tahu, gadis itu adalah kuncinya.
Tabitha menarik napas dalam, berusaha menguatkan dirinya. Perlahan, dia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah menuju brankas besi yang kokoh itu. Tangannya sedikit gemetar, bukan hanya karena gugup, tetapi juga karena rasa sakit yang kembali menusuk di lengannya.
Saat hendak memasukkan kode, dia berhenti sejenak. Matanya menatap pergelangan tangan kirinya—di sana, perban putih masih membalut luka sayatan yang belum sepenuhnya sembuh. Luka yang ia dapat dari kekejaman Darius, yang dengan sadisnya menyayat kulitnya hanya agar ia membuka brankas ini untuknya.
Tangannya perlahan menyentuh luka itu. Rasa perihnya kembali terasa. Luka fisik bisa sembuh… tapi luka di dalam hatinya?
Mata Zunaira sedikit berkaca-kaca melihat sahabatnya yang selama ini selalu kuat, kini menahan luka yang begitu dalam.
Tabitha menarik napas panjang, lalu dengan tangan gemetar, ia mulai memasukkan kode.
7… 2... 7... 4…
Sejenak, tidak ada yang terjadi.
Kemudian, terdengar klik yang begitu pelan, namun jelas terdengar di ruangan yang hening itu.
Brankas itu terbuka.
Tabitha menatap bagian dalamnya dengan napas yang masih memburu. Perlahan, dia melangkah mundur, seakan takut dengan apa yang baru saja dia buka.
Mereka semua menatap isi brankas itu.
Tumpukan dokumen tua yang menguning, rekaman dalam bentuk kaset, dan satu cd mikro lama berwarna hitam yang tampak jauh lebih menarik dibandingkan benda lainnya.
Azhari adalah orang pertama yang bergerak. Dia mengambil salah satu dokumen di dalamnya, membuka lembar pertama, lalu membacanya dalam diam.
Tak lama kemudian, rahangnya mengeras. Matanya bergerak cepat, membaca isi dokumen itu dengan lebih teliti.
"Ini…" suara Azhari terdengar berat, seakan kalimat yang hendak ia ucapkan terlalu sulit untuk keluar. "Ini bukan sekadar laporan penelitian biasa. Ini…"
Edric ikut mengambil dokumen lain, lalu dengan suara serak, dia melanjutkan, "Ini adalah hasil eksperimen yang mereka sembunyikan selama ini."
Arel menatap cd mikro di dalam brankas itu, lalu menoleh ke Komisaris Bram. "Kita harus segera melihat apa isinya. Saya yakin, ini bukan hanya tentang masa lalu."
Tabitha masih berdiri di tempatnya. Tangannya mengepal, menekan rasa sakit di lengannya. Angga, yang berdiri di sebelahnya, meletakkan tangan di bahunya. "Kita baru aja membuka sesuatu yang sangat besar, Ta."
Tabitha menelan ludah. Dia sudah tahu itu. Tapi pertanyaannya, apakah mereka siap menghadapi kebenaran yang akan terungkap?
***
Komisaris Bram memberikan instruksi tegas kepada salah satu anak buahnya, "Siapkan alatnya."
Seorang petugas segera bergegas ke meja sisi ruangan, mengambil perangkat tua berbentuk kotak dengan slot kecil di tengahnya. CD mikro lama dikeluarkan dari brankas, lalu dengan hati-hati dimasukkan ke dalam alat pemutar.
Klik.
Sesaat, tidak ada yang berbicara. Hanya suara dengungan halus dari mesin tua itu yang terdengar. Lalu, suara pertama keluar dari speaker. Suara Prof. Ghani.