Codex Genetika

Firsty Elsa
Chapter #35

Epilog

Satu tahun telah berlalu. Kejadian demi kejadian telah mereka lewati. Mulai dari teka-teki, kebohongan, pengkhinatan, hingga kehilangan yang membuat hati mereka perlahan berubah menjadi kekuatan. Mereka bukan lagi remaja biasa. Mereka adalah saksi hidup dari sebuah rahasia besar yang seharusnya tidak pernah terungkap.

Kini, mereka telah sampai di destinasi pertamanya. Yaitu, lulus dari masa putih abu-abu. Tak ada yang menyangka, masa terakhir di SMA justru menjadi hal yang paling bewarna dengan segala lika-likunya. Tidak seperti remaja pada umumnya, memang. Tapi mereka tahu pasti, perjalanan berat ini selalu terasa ringan jika dijalani bersama. 

Aringga, Tabitha, Daniel, dan Zunaira. Empat nama yang telah bersilangan dengan takdir. Di depan gerbang SMA Bumi Cakrawala, sore itu terasa lebih lambat. Bel pulang sekolah baru saja berbunyi. Sinar matahari mulai menurun, melewati dedaunan, menebarkan cahaya emas yang menghangatkan wajah mereka. Seragam putih abu-abu yang mereka kenakan sebentar lagi hanya akan menjadi kenangan di lemari.

Pada kenyataannya, keempatnya lulus dengan nilai sempurna. Keempatnya pun juga telah diterima di kampus impian. Tapi tak ada pesta, tidak ada hingar-bingar. Hanya ada keheningan, rasa haru, dan ketakutan samar akan masa depan. Mereka menatap gedung sekolah itu lama, seakan mengabadikannya di dalam ingatan. Tempat yang tak sengaja mengubah hidup mereka, tempat yang meninggalkan bekas luka yang tak akan pernah hilang. 

Daniel menghela napas panjang. “Nggak nyangka ya… bentar lagi jadi alumni.”

Aringga mengangguk, menyembunyikan resahnya, “Gue takut deh, kaau nanti kita nggak bisa ketemu lagi.”

Tabitha tersenyum kecil, meski matanya berkaca. “Yah… mungkin susah. Tapi kalau bisa, kita usahain jangan putus komunikasi ya?” katanya penuh harap.

Zunaira hanya terdiam. Tapi tatapannya pada mereka satu persatu lebih dalam dari sekedar kata-kata. Dalam diamnya, ia menyimpan doa. Semoga kenangan ini tak pernah lenyap.

Angin sore kembali berhembus, seolah ikut mengiringi percakapan mereka yang singkat namun sarat makna. Suara riuh siswa lain yang baru saja pulang terdengar samar di kejauhan, tapi bagi mereka berempat, dunia seperti hanya menyisakan ruang kecil di bawah cahaya senja ini.

“Kalau suatu hari nanti kita sibuk sama hidup masing-masing…” suara Daniel kembali pecah, pelan, tapi terdengar jelas, “ingat aja kalau kita pernah sama-sama berdiri di sini. Di gerbang ini. Di titik yang bikin kita percaya kalau kita bisa ngadepin apa pun.”

Tabitha tersenyum kecut, menunduk sejenak. “Iya… SMA ini udah kayak saksi bisu. Semua rahasia, semua luka, semua tawa… ada di sini.”

Aringga mencoba tertawa, meski suaranya bergetar. “Gue beneran nggak siap ninggalin ini semua. Kalian tahu kan? Buat gue, kalian lebih dari sekadar temen. Kalian tuh keluarga yang gue pilih.”

Lihat selengkapnya